Prom Night menjadi
acara yang sangat penting bagi remaja, karena inilah
malam terakhir mereka sebagai pelajar dan inilah terakhir kalinya mereka dapat
berkumpul bersama dalam sebuah ruangan. Setelah menempuh beberapa tahun bersama
tentunya akan menyedihkan jika berpisah tanpa adanya sebuah acara. Itulah satu
dari banyak alasan bagi para remaja untuk menghadiri Prom Night. Sayangnya, acara perpisahan semacam ini lebih
menonjolkan sisi konsumsi. Kegairahan konsumsi tidak begitu
saja muncul, menurut pengamatan penulis, konsumsi muncul melalui proses
adaptasi cara belajar menuju aktivitas konsumsi atau pengembangan suatu gaya
hidup.
Proses Pembelajaran Konsumsi
Skema di atas menjelaskan bagaimana
proses pembelajaran konsumsi berlangsung. Pembelajaran ini dilakukan melalui media (majalah, koran,
buku, televisi dan radio) yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan
diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan
ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup sehingga menjadi
‘seolah-olah’ berbeda dengan yang lain. Berkat dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model
yang ditawarkan media.
Kegiatan konsumsi yang dilakukan dalam Prom Night mendefinisikan status sosial
orang-orang yang ada di dalamnya. Konsumsi digunakan untuk tujuan pembedaan
sosial. Menurut Bourdieu, budaya hidup (gaya hidup dan sebagainya) adalah suatu
arena penting bagi pertarungan di antara berbagai kelompok dan kelas sosial.
Bagi Bourdieu,
konsumsi budaya itu cenderung sadar dan disengaja atau tidak, mengisi suatu
fungsi sosial berupa melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Misalnya, budaya
digunakan oleh kelas dominan, menurut Bourdieu, untuk memastikan reproduksinya
sebagai kelas dominan. Tujuan Bourdieu bukanlah menyatakan atau membuktikan apa
yang sudah jelas (bahwa kelas-kelas yang berbeda memiliki gaya hidup yang
berbeda, selera-selera yang berbeda dalam budaya, dan sebagainya) melainkan
meneliti proses yang dengannya pembentukan pembedaan-pembedaan budaya
mengamankan dan melegitimasi bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi yang akhirnya
berakhir pada ketidakstabilan ekonomi.[1]
“Sebagaimana
semua selera, dia menyatu dan terpisah. Dengan menjadi produk pengondisian yang
berhubungan dengan kategori syarat eksistensi tertentu, dia menyatukan semua
orang menjadi produk kondisi serupa sambil membedakan diri mereka dari orang
lain. Dan dia membedakan dengan cara yang esensial, karena selera adalah basis
bagi semua yang dimiliki orang -orang dan benda-benda- dan semuanya
diperuntukan bagi orang lain, sementara orang mengklasifikasikan dirinya, pada
saat yang sama dia juga diklasifikasikan oleh orang lain.”[2]
Dalam hal ini Prom Night adalah sesuatu yang terbentuk
dari kesamaan kelas, selera[3]
dan gaya hidup, di mana kesamaan tersebut membentuk ruang yang dapat memperkuat
status sosial mereka. Pada titik inilah perjuangan sosial dimulai, di mana
orang berlomba-lomba mengejar kehormatan melalui apa yang mereka konsumsi
(mobil apa yang mereka pakai, sepatu apa yang mereka pakai, aksesoris apa yang
mereka pakai dan salon atau mall apa
yang mereka kunjungi). Menurut Bourdieu, “lingkungan seperti itu menawarkan peluang untuk mengejar
kehormatan yang tak ada habis-habisnya”.[4]
Jadi, konsumsi
tidak hanya berputar pada sesuatu yang berwujud. Lebih dari itu, kini konsumsi
juga dilakukan untuk sesuatu yang tidak berwujud, yakni konsumsi barang-barang
simbolik. Konsumsi barang-barang simbolik ini berkenaan dengan status dan
prestise. Orang yang memiliki status dan prestise tinggi tentu memiliki selera
yang tinggi terhadap sesuatu. Selera itu membedakan mereka dengan yang lainnya
dan memberitahu di mana kedudukan mereka dalam suatu masyarakat. Dari sana
muncullah keinginan untuk mempertahankan kedudukan. Salah satu cara yang
digunakan adalah mengonsumsi barang-barang simbolik. Berangkat dari hal itu, Prom Night dapat dilihat sebagai ruang
sosial yang memungkinkan individu di dalamnya dapat menjadi berbeda agar
lebih menonjol dalam ruang tersebut.
Meski demikian,
sesungguhnya Prom Night memiliki
nilai-nilai edukasi. Prom Night
menjadi wadah bagi siswa untuk mengasah kreativitas. Hal itu jelas terlihat
dalam konsep yang mereka buat khusus untuk acara tersebut. Untuk Prom Night yang berbeda dari yang lain,
mereka berlomba-lomba untuk menghadirkan ide-ide kreatif, yang nantinya dapat
meninggalkan kesan tersendiri bagi mereka.
Kreativitas mereka
tidak begitu saja muncul. Kreativitas muncul karena adanya pembiasaan yang
didapat dari pendidikan. Di sekolah para siswa dididik untuk menjadi individu
yang kreatif dan mandiri. Dalam Prom Night
mereka dapat mengimplementasikan kedua hal itu, karena Prom Night merupakan ruang yang mereka
ciptakan dalam rangka upaya perwujudan imaji-imaji mereka yang selama ini
terpendam karena kerasnya sistem persekolahan. Selain itu acara tersebut menjadi wadah berorganisasi
bagi mereka. Namun, Prom Night
bukanlah satu-satunya wadah pembelajaran bagi siswa.
Di sekolah siswa
sudah mendapatkan pelajaran di kelas selama lebih dari tujuh jam. Selain di dalam kelas, mereka juga memperoleh
pembelajaran melalui kegiatan organisasi. Namun, ruang pembelajaran yang
diberikan sekolah dirasa belum cukup untuk memenuhi perkembangan siswa.
Pasalnya, ruang pembelajaran yang diselenggarakan sekolah terkesan kaku.
Contohnya, setelah siswa mengikuti pembelajaran, siswa masih diwajibkan untuk
ikut kegiatan organisasi.
Kegiatan organisasi
selayaknya mampu memberikan ruang bernapas bagi siswa, namun pada kenyataannya
dalam berorganisasi pun siswa dituntut oleh nilai. Hal tersebut menjadi beban
tersendiri bagi siswa, dan membuat siswa mengikuti kegiatan organisasi hanya
karena terpaksa. Lebih dari itu, setelah lima hari berada di sekolah dan dituntut untuk ikut kegiatan
organisasi, tidak sedikit siswa yang diwajibkan oleh orang
tua mereka untuk mengikuti bimbingan belajar dan kursus.
Hal ini membuat siswa tidak memiliki kebebasan untuk mengeksplor apa yang
mereka inginkan. Dunia mereka seolah dibentuk oleh orang-orang dewasa yang
berada di sekitar mereka.
Dalam hal ini,
sekolah dan keluarga tampaknya telah gagal menciptakan kondisi yang baik bagi
siswa. Maka tak heran jika siswa menciptakan ruangnya sendiri,
yakni Prom Night.
Alih-alih mengadakan pesta perpisahan, Prom
Night menjelma menjadi ruang di mana para siswa dapat menunjukkan eksistensi mereka. Prom
Night menjadi semacam acara pelepasan, bukan pelepasan siswa yang telah
lulus, tapi pelepasan beban siswa selama di sekolah.
[1] John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 146.
[2] Pierre Bourdieu dalam Richard
Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,
trj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 213.
[3] Selera merupakan praktek yang
antara lain membantu memberikan seorang individu maupun orang lain pemahaman
mengenai posisinya di dalam tatanan sosial. Selera membantu menyatakan orang
lain yang memiliki prefensi serupa dan membantu membedakan mereka dari orang
lain yang memiliki selera berlainan.
[4] George Ritzer dan Douglas J. Goodman,
Teori Sosiologi Modern, (Jilid 6;
Yogyakarta: Kencana, 2007), hlm. 529.