Bila
membahas mengenai masyarakat perkotaan tidak bisa terlepas dari media massa,
teknologi, dan segala sesuatu yang kebarat-baratan, yang menjadi tren gaya
hidup modern. Masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang pluralistik, sehingga
penduduknya dapat dikelompokkan dalam berbagai strata. Setiap strata, hingga batas
tertentu, terdiri dari sejumlah individu yang memiliki sikap, pola tindakan dan
gaya hidup yang sama. A.B. Susanto menyatakan bahwa “media massa berpengaruh besar terhadap gaya hidup
masyarakat perkotaan masa kini, karena media massa turut menentukan tren,
dengan menampilkan trend setters
maupun menampilkan unsur-unsur gaya hidup yang sedang ngetren.”[1]
Pada
umumnya gaya hidup diartikan sebagai karakteristik seseorang yang berkaitan
dengan pola penggunaan waktu, uang, ruang, dan objek-objek yang berkaitan
dengan semuanya. Misalnya cara berbicara, cara makan, cara berpakaian,
kebiasaan di kantor, kebiasaan berbelanja, kebiasaan di rumah, pilihan teman,
hiburan, tata rambut, restoran dan sebagainya.
“Gaya hidup dapat dipahami sebagai sebuah karakteristik
seseorang secara kasat mata, yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap
diri sendiri dan lingkungannya. Gaya hidup merupakan kombinasi dan totalitas
cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta objek-objek yang mendukungnya, dalam
pelaksanaannya dilandasi oleh sistem nilai atau sistem kepercayaan tertentu.”[2]
Gaya hidup merupakan sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan dan tata
cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya,
kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya membedakan statusnya
dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya hidup juga dapat dilihat dalam dua konteks. Konteks
pertama berkaitan dengan identitas.
“Gaya hidup mungkin ditambahkan daftar identitas yang
tercakup dalam politik afinitas, sebagai penanda perbedaan: kelas, ras,
etnisitas, orientasi seksual, usia, gaya hidup, dan sebagainya. Gaya hidup ini
memiliki kaitan dengan subkultur urban atau penggemar, musik, olahraga, dan
kesukaan.” [3]
Konteks kedua terkait dengan industri konten. Dalam hal
ini, John
Hartley menegaskan bahwa “gaya hidup mengacu pada genre pemrograman TV dan majalah
yang kepentingan umumnya lebih terpusat pada jurnalisme non-berita yang
berkisar mengenai hal-hal rumah tangga, perawatan tubuh, dan konsumerisme.”[4] Selain itu, gaya hidup merujuk pada kepekaan konsumen
baru yang diidentifikasi sebagai karakter konsumsi modern. Melalui gaya hidup,
para konsumen dianggap membawa kesadaran atau kepekaan lebih tinggi terhadap
proses konsumsi. Sebagai sebuah mode konsumsi atau sikap konsumsi, hal itu
merujuk pada cara orang-orang berusaha menampilkan individualitas mereka dan
cita rasa mereka melalui pemilihan barang-barang tertentu dan disusul dengan
pembiasaan atau personalisasi barang-barang tertentu, individu secara aktif menggunakan barang-barang konsumsi
dengan cara menunjukkan selera atau cita rasa kelompoknya. Gaya hidup dengan demikian merupakan
contoh kecenderungan kelompok-kelompok dalam menggunakan barang-barang untuk
membedakan diri mereka dengan kelompok lainnya.
Gaya
hidup juga dihubungkan dengan status kelas sosial ekonomi. Hal tersebut karena
pola-pola konsumsi dalam gaya hidup seseorang melibatkan dimensi simbolik,
tidak hanya berkenaan dengan kebutuhan hidup yang mendasar secara biologis.
Simbolisasi dalam konsumsi masyarakat modern saat ini mengonstruksi
identitasnya, sehingga gaya hidup bisa mencitrakan keberadaan seseorang pada
suatu status sosial tertentu.
[1] A.B. Susanto, Potret-potret Gaya Hidup Metropolis, (Jakarta:
Kompas, 2001), hlm. 19.
[2] Agus
Sachari, Budaya Visual Indonesia:
Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad Ke-20,
(Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 73.
[3] John Hartley, Communication, Cultural, and Media Studies:
Konsep Kunci, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 95.
[4]
John Hartley, Ibid.