Pendidikan sering dikatakan sebagai aset yang sangat
berharga. Karena, pendidikan diyakini sebagai tombak untuk memberantas
kebodohan. Untuk itu, pendidikan tetap bertahan hingga saat ini. Namun, muncul
pula anggapan yang sangat kontras, tak jarang masyarakat yang menyatakan
pendidikan adalah barang mahal dan mewah, tak semua penduduk Indonesia bisa
menikmati barang mewah tersebut. Anggapan negatif tersebut muncul karena
pendidikan telah melenceng jauh dari cita-cita idealnya sebagai wahana
pembebasan dan pemberdayaan.
Sekolah merupakan salah satu
institusi pendidikan yang sangat berperan besar dalam pencapaian cita-cita
pendidikan. Namun sayangnya, sekolah hanya dijadikan institusionalisasi nilai. Salah
satu bukti nyata adalah dengan diberlakukannya penggunaan LKS di sekolah.
Lembar kerja
siswa (LKS) adalah bagian pokok dari suatu modul yang berisi tujuan umum topik
yang dibahas dan disertai soal latihan atau instruksi praktik bagi siswa. LKS digunakan untuk
menuntun siswa belajar mandiri dan dapat menarik kesimpulan pokok bahasan yang
diajarkan. Penyajian bahan pelajaran umumnya dapat mendorong siswa
mengembangkan kreativitas dalam belajar. Dengan demikian, siswa
diharapkan mampu mendorong siswa secara
aktif mengembangkan dan menerapkan kemampuannya.
LKS yang
baik harus memenuhi persyaratan konstruksi dan didaktik. Persyaratan konstruksi
tersebut meliputi syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa,
susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran dan kejelasan yang pada hakekatnya
haruslah dapat dimengerti oleh pihak pengguna LKS yaitu peserta didik,
sedangkan syarat didaktif artinya bahwa LKS tersebut haruslah memenuhi
asas-asas yang efektif.
Sejak adanya LKS di sekolah, efektifitas pengajaran guru
semakin meningkat. Guru tinggal menerangkan pokok-pokok pembahasan yang ada
dalam sebuah bahasan. Dengan adanya LKS, siswa dituntut untuk lebih sering
berlatih, berlatih, dan berlatih, supaya siswa menjadi lebih terasah aspek
kognitifnya.
Kini, LKS telah menjadi buku wajib bagi para siswa dari
jejang SD sampai SMA. Biasanya, buku ini tipis dan dicetak dengan kertas
murahan dan diterbitkan untuk setiap bidang studi. Isinya berupa ringkasan
materi dan kumpulan soal-soal latihan. Di samping LKS, para siswa juga
diwajibkan memiliki buku teks yang isinya lebih lengkap. LKS sesungguhnya
ditujukan sebagai suplemen atau buku tambahan latihan untuk siswa, sedangkan
buku pegangan utama adalah buku teks. Namun, dalam kenyataannya, banyak guru
hanya menggunakan LKS dalam mengajar. Para siswa langsung disuruh mengerjakan
soal kemudian dibahas, tanpa pendalaman materi sebelumnya.
LKS bagaikan sebuah “kitab suci” bagi semua jenjang
pendidikan dewasa ini. Sebuah kitab suci yang setiap harinya selalu digunakan
untuk sumber belajar bagi siswa dan sumber mengajar bagi guru. Sebuah kitab
suci yang kedudukannya berada di atas buku pegangan atau buku pedoman lain.
Para guru yang seharusnya bertugas mengajar siswa,
membuka dialog dengan siswa, menjadi pasif dan otoriter. Dengan dalih agar
siswa belajar mandiri, guru menyuruh siswanya untuk membaca rangkuman LKS
dilanjutkan mengerjakan soal-soal di dalamnya. Siswa sendiri yang seharusnya
dalam kegiatan belajar bersikap aktif, kreatif, dan kritis juga menjadi robot
yang menuruti perintah gurunya. Enteng bagi mereka untuk mengerjakan soal-soal
LKS walaupun belum memahami materinya karena jawaban dari soal-soal itu dapat
ditemukan dalam rangkuman materi di halaman sebelumnya. Siswa hanya tinggal
menyalin kembali. Jika tidak dapat diselasaikan pada hari itu juga, guru akan menjadikannya
sebagai PR. Masalah baru yang muncul kemudian adalah timbulnya budaya
mencontek. Pada umumnya hanya ada satu dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa
yang lain beramai-ramai menyalin jawaban temannya sebelum pelajaran dimulai.
Jelaslah bahwa LKS yang sekarang banyak digunakan sangat
berbeda secara konseptual dari LKS yang sesungguhnya. LKS yang sekarang tak
lebih hanya "kumpulan latihan soal", dan jika guru memperlakukan LKS
sebagai sumber belajar utama dalam proses pembelajaran, pemahaman dan
pengetahuan yang terbentuk dalam diri siswa pun akan sangat dangkal.
LKS diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif pembelajaran yang tepat
bagi peserta didik karena LKS membantu peserta didik untuk menambah informasi
tentang konsep yang dipelajari melalui kegiatan belajar secara sistematis.
Tetapi, pada kenyataannya LKS yang telah dimiliki oleh peserta didik selama ini
belum mampu membantu dalam menemukan konsep, karena hanya berisi materi dan
soal-soal. Selain itu ditinjau dari segi
penyajiannya pun kurang menarik.
Sebagian besar waktu belajar siswa sekolah dasar dan
menengah dipergunakan untuk mengerjakan LKS. Namun, keberadaan LKS cetak atau
biasa disebut pula dengan istilah Buku Kerja Siswa hingga saat ini masih sangat
minimalis dan belum efektif sebagai sarana pembelajaran. Baik dari segi
tampilan, isi maupun kepraktisannya. Akibatnya, siswa mengerjakan LKS cetak
dengan perasaan yang terpaksa dan kurang bersemangat.
Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa dilanda
kesengsaraan menghadapi LKS. Pertama, LKS didistribusikan hampir setiap guru
mata pelajaran dengan harga bervariasi. Kedua, LKS didistorsikan sebagai bahan
ajar atau rujukan pembelajaran. Ketiga, bila dibuat tim musyawarah guru mata
pelajaran (MGMP), LKS berkemungkinan menjadi rujukan saat tes bersama, sehingga
siswa yang tak memanfaatkannya mengalami kesulitan mengerjakan evaluasi itu.
Berdampingan dengan LKS, beredar pula di ruang kelas
buku-buku pelajaran, yang dicetak dalam satu semester, dan pada semester
berikutnya siswa kembali membelinya. Telah berkembang pula suatu tradisi, siswa
dipersuasi untuk membeli buku dari guru yang bersangkutan. Pada tingkat
pendidikan dasar, persuasi guru itu lebih dipatuhi siswa daripada pendidikan menengah.
Ini disebabkan patronase guru pada tingkat pendidikan dasar lebih kuat.
Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan siswa secara
mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta
mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan
budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan soal LKS, dan siswa
lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.
Bahkan, tak jarang siswa dipaksa menghafal materi di LKS,
bahkan jika perlu menghafal soal dan jawabannya. Karena, biasanya guru-guru
akan membuat soal ulangan dan ujian yang materinya atau pun tipe soalnya sama
dengan yang ada di LKS. Tak heran jika terjadi seorang siswa yang sama sekali
tidak paham suatu materi, tetapi ketika ujian nilainya bagus. Hal tersebut
membuat kemampuan anak untuk menganalisis, membedakan, mempertanyakan dan
mengevaluasi suatu materi tidak berkembang.
Selain itu, masih ada lagi kerugian yang dialami dunia
pendidikan kita, yakni LKS telah mematikan kreativitas siswa. Kehadiran LKS
yang sering ''menggantikan'' guru yang kebetulan berhalangan hadir, telah
menggersangkan ruang kelas dari pembelajaran yang hangat dengan pijar-pijar
perenungan dan kegembiraan. Ruang kelas dipenuhi kegiatan kognitif dengan cara
menjawab dalam lembaran ''terbatas'', tak memungkinkan tumbuhnya cara berpikir
lateral, apalagi kreatif.
Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran
kognitif membuat siswa tidak kreatif. Karena, belajar suatu ilmu hanya kulit
luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya, yang berkembang hanya kemampuan
otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya
mesin penghafal.
Model pembelajaran seperti ini persis seperti yang diterapkan
di lembaga bimbingan. Substansi pendidikan menjadi kabur karena proses belajar
direduksi sebatas latihan soal dengan orientasi Ujian Nasional (UN). Para guru
mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang
dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.
Namun, ditengarai banyak guru-guru yang menggunakan LKS
karena memudahkan mereka dalam membuat soal. Kasarnya, mereka malas atau enggan
membuat soal sendiri untuk keperluan siswanya. Padahal itu adalah kewajiban
mereka sebagai guru. Keberadaan LKS juga semakin memperjelas posisi siswa
sebagai pasar di dunia pendidikan. Karena, biaya pembelian LKS dibebankan
kepada siswa. Artinya, ada sebagian kewajiban guru (membuat soal untuk
siswanya) yang dialihkan kepada pihak lain (pembuat atau penerbit LKS), dan
biaya pengalihan itu menjadi beban siswa (karena harus membeli LKS).
Dengan asumsi bahwa penyalahgunaan LKS yang tidak
terlepas dari keterbatasan pendidik dan peserta didik. Keterbatasan yang
dimiliki menciptakan standar yang berlaku bagi institusi tempat mereka
bernaung. Standarisasi tersebut bersifat penyeragaman, yakni dengan pemakaian
LKS. Padahal, pendidikan bersifat perorangan atau individu.
Isu tentang penggunaan LKS yang hanya mendidik siswa
untuk menjawab soal bukan mengerti materi menjadikan pendidikan hanya berorientasi
pada hasil. Padahal, belajar di institusi formal seperti sekolah merupakan
proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasaan diri, pematangan
pribadi, berkomunikasi, dan membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi
yang dewasa dan berwawasan luas. Sebagai peroses, ukuran keberhasilan bukan
hanya produk akhir saja, tetapi juga terlaksananya produk itu sendiri. Karena,
pembelajaran yang mengabaikan proses sebenarnya telah mereduksi makna
pembelajaran itu sendiri.
Oleh karena itu, proses menjadi
sangat penting dalam sebuah institusi pendidikan yang benama sekolah guna
mengidentifikasi terjadinya penyalahgunaan LKS di dalam lembaga pendidikan. Adapun
kondisi-kondisi yang memperburuk keadaan ini, yakni ketidakefektifan LKS
sebagai sebuah sarana yang meningkatkan kecerdasan, LKS tidak membantu
perkembangan intelegensi pendidik maupun peserta didik, dan rendahnya mutu LKS.
Daftar
Pustaka
Buku:
Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-Rusakan,
Yogyakarta: Lkis, 2005.
Pora, Yusran, Selamat Tinggal Sekolah, Yogyakarta:
MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto Pendidikan Nasional,
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.
Artikel:
“Lembar Kerja Siswa
Interaktif”, Kompas, Jawa Barat, 17 Juli 2007.
”Lembar Kerja Siswa”, Solopos, Kamis, 12 Juni 2008.
”Adakah Buku yang Memperbodoh dan Memiskinkan Masyarakat?”, MATABACA, Vol.
2/No.2/Oktober 2003.