Untuk memahami arena produksi kultural, peneliti merasa perlu untuk mengamati struktur arena, di mana
letak posisi-posisi yang diduduki oleh para agen yaitu
sekolah, siswa dan orang
tua juga yang diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang
menentukan konsekrasi dan legitimasi yang membuat produk budaya itu sah menjadi
suatu produk budaya, juga analisis posisi-posisi di dalam arena kekuasaan yang
lebih luas. Secara menyeluruh merupakan kesatuan kondisi sosial yang meliputi
produksi, sirkulasi dan konsumsi barang-barang simbolik.
Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan[1]
dan agen yaitu individu, Pierre
Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik kehidupan
praksis.[2]
Dua alat konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah habitus dan arena yang
ditopang oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk
mencapai kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi,
budaya dan simbolik. Formula yang menurut Pierre Bourdieu non-linier menggantikan relasi yang sederhana
antara individu dan struktur dengan relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai: (Habitus x Kapital) + Arena = Praksis.”
Modal
Bourdieu mengumpamakan kehidupan bagaikan sebuah game,
permainan yang menggunakan ‘modal’ sebagai ‘duit’ modalnya. Seorang agen atau pemain bisa memiliki dua modal, bisa juga hanya
satu atau tidak sama sekali. Jalin-menjalin yang kompleks antara dua kekuatan
modal -yang bisa berfluktuasi, berlebihan atau berubah arah-
bisa menentukan kesempatan hidup agen tersebut. Bila
Marxisme klasik melihat modal dari segi ekonomi semata, Bourdieu memperluas konsepnya
untuk memasukkan unsur kebudayaan. Modal ekonomi memang masih menjadi kekuatan sosial sentral
yang mampu mendorong perbedaan kelas, namun modal kultural juga memiliki peran besar dalam permainan hidup.
Bagi Bourdieu, definisi modal bisa memiliki cakupan yang luas, dari yang material dan
memiliki nilai simbolik, hingga yang tak tersentuh namun secara budaya dianggap
memiliki atribut-atribut signifikan seperti prestise, status dan otoritas,
dianggap sebagai modal simbolik, sedang
modal budaya didefinisikan sebagai pola-pola yang dilandasi selera dan
konsumsi budaya. Karenanya, kapital merupakan relasi
atau hubungan sosial dalam satu sistem pertukaran, dan ini berlaku untuk
semua benda, material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yang merepresentasikan
diri sebagai sesuatu yang langka dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu
bentuk formasi sosial tertentu, antara lain kehormatan dan distingsi.
Sebagai energi sosial yang membuahkan hasil dalam arena
produksi budaya, tempat produksi dan reproduksi, kapital simbolik merujuk pada
tingkat akumulasi prestise, kesucian (consecration) dan kehormatan (honour)
yang didasari oleh dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan
pengakuan (reconnaissance) sedang kapital budaya menyangkut segala
bentuk pengetahuan tentang kebudayaan, kompetensi atau disposisi.
Dalam Distinction (1984), tempat Bourdieu
mengelaborasi konsep modalnya, modal kultural dijabarkan sebagai sebuah bentuk pengetahuan, sebuah
kode yang di’internalisasi’ atau perolehan kognitif yang melengkapi agen sosial dengan rasa empati, apresiasi atau kompetensi
menguraikan (dalam artian memahami) relasi-relasi budaya berikut artefak-artefak budaya. Kapasitas untuk melihat (voir) adalah
satu bentuk fungsi dari pengetahuan (savoir), konsep kata-kata yang
mampu menamai apa yang terlihat, yaitu persepsi.[3]
Untuk memasuki arena dan mampu ‘bermain’ dalam
pertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang harus memiliki habitus yang
mengarahkannya untuk bisa berjaga-jaga atau beradaptasi sebelum ia memasuki
arena tersebut dan bukan yang lainnya. Ia harus memiliki paling tidak
pengetahuan minimum dan ketrampilan serta talent,
talenta untuk bisa diterima sebagai seorang pemain yang memiliki legitimasi.
Berarti ia harus berupaya menggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan
talentanya dengan cara yang semenguntungkan mungkin. Untuk berhasil, ia harus menginvestasikan
seluruh kapital yang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yang paling besar
atau keuntungan dari upayanya berpartisipasi dalam arena. Kapital karenanya
harus berada di dalam arena untuk memaknainya.
Arena Reproduksi
Agen-agen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalam
situasi-situasi sosial nyata yang ditata dan dikuasai oleh relasi-relasi sosial
obyektif. Untuk menjelaskannya, Bourdieu mengembangkan konsep arena (Perancis: champ;
Inggris: field). Konsep arena merupakan metafora yang digunakan oleh
Bourdieu untuk menggambarkan field of forces, arena kekuatan-kekuatan
yang dinamis tempat beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya.[4]
Strategi dan trayektori[5]
adalah dua konsep utama yang digunakan Bourdieu dalam teorinya tentang arena. Strategi bisa dipahami sebagai praksis dengan orientasi spesifik tertentu.
Sebagai produk dari habitus, strategi merupakan disposisi yang berada di bawah
kesadaran dan bergantung pada posisi yang ditempati oleh agen dalam arena, juga
bergantung pada permasalahan apa yang mendasari konfrontasi. Itulah yang
‘membangun’ bentuk pertarungan dan orientasi arah penyelesaiannya. Sedang trayektori bisa dilihat
sebagai sesuatu yang merupakan hasil dari pergulatan dan perjuangan untuk
mencapai kapital simbolik dalam arena pertarungan, dan bisa diamati melalui
jaringan relasi ekonomi, budaya dan sosial.[6]
Trayektori digunakan Bourdieu saat membicarakan posisi
para parvenus (orang-orang kaya baru) dan orang-orang déclassé (yang
tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu). Orang-orang ini berasal dari
origin sosial yang berbeda dari kelompok di arena tempat mereka kini berada.
Para parvenus dan déclassé dipastikan tiba melalui rute atau
trayektori yang berbeda dari yang lain.[7]
Setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya
merupakan arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan
struktur). Struktur arena untuk setiap saat tertentu ditentukan oleh
relasi-relasi antara posisi-posisi para agen yang berada di dalam arena,
karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis, setiap perubahan dalam
posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena.[8]
Distingsi[9] dan Selera Kelas
Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang
memungkinkannya untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik
dan hubungannya dengan posisi kelas, dan kemampuan ini membuatnya memiliki
kapasitas untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktek-praktek dan produk yang disebut taste atau selera yang
sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup terbentuk.
Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan
sekaligus mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk
menentukan dan memberi ‘tanda batas keberbedaan’ melalui sebuah proses distingsi. Selera merupakan kemampuan
praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan terjadi, yang akan
menimpa individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial.
Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, ‘a
sense of one’s place’, yang menunjukkan di mana seharusnya seseorang
berada. Karena itu agen-agen sosial selain menjadi produsen tindakan-tindakan
yang bisa diklasifikasi, mereka juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri
juga terklasifikasi di dalamnya.
Bila arena produksi budaya adalah field of forces,
arena kekuatan-kekuatan yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir
di dalamnya dan pertarungan tersebut dilihat dapat mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan, maka
selera berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang berdasar pada gaya
hidup para agen.
Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction,1984,
Bab III: Class Tastes and Lifestyles yang menyatakan bahwa
“para borjuis baru adalah inisiator perubahan etika
ekonomi baru demi kelangsungan hidupnya. Logika baru ekonomi telah membuang
jauh etika asketisme seperti abstinence, puasa menghindari keduniawian
dengan berhemat, menabung dengan penuh perhitungan, dan sebaliknya justru
merangkul moralitas hedonistik dari konsumsi yang didasari oleh credit,
spending and enjoyment, hutang, belanja dan penikmatan.”[10]
Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para
penjaja benda-benda dan jasa simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan
dan sinema, dunia fashion dan iklan, dunia desain dan pengembangan properti.
Melalui anjuran-anjuran yang terus menerus mengiklankan gaya hidup sebagai
model atau panutan, para penentu selera baru memunculkan moralitas seni
pengonsumsian, pembelanjaan dan penikmatan. Mereka inilah the new cultural
intermediaries, para perantara kebudayaan baru, karena melalui merekalah batas-batas area kebudayaan yang semula tertutup dapat diakses dan menjadi milik publik.
[1] Kumpulan
pengetahuan yang membangun relasi-relasi sosial obyektif -yang terinternalisasi
dan disosialisasikan sejak dini-, seperti kemampuan bahasa atau ekonomi yang
bisa membentuk (menstruktur) praksis dan representasinya yaitu pengetahuan
primer, baik praktis maupun tasit (yang tak terucapkan) dari dunia sehari-hari
yang kita kenal.
[2] Peneliti
menggunakan kata praksis dan bukan praktek (yang bisa bermakna tindakan saja)
sebagai terjemahan dari pratique, karena konsep praksis bila dikaitkan
dengan konsep habitus, modal dan
ranah mengandung
keberagaman dimensi yang tidak linier, selalu dinamis dan fluktuatif tergantung
dari kepentingan dan kekuasaan pelaku.
[3] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 2.
[4] Istilah arena
lebih tepat dari lapangan karena juga merupakan sebuah arena pertarungan
merebut kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan tersebut. Pertarungan tersebut
dilihat sebagai bisa mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan. Posisi
ditentukan oleh alokasi atas capital tertentu bagi aktor yang berada di dalam
arena tersebut. Posisi-posisi yang dicapai dapat berinteraksi dengan habitus
untuk membentuk beragam postur (prises de position) yang memiliki efek
independen pada ‘position taking’ di dalam arena tersebut. Dinamika
arena didasari pada pertarungan perebutan posisi dalam arena.
[5] Bourdieu
memperkenalkan istilah trajectory -jalur melengkung dari sebuah
proyektil- saat membicarakan posisi para parvenus (orang kaya baru) dan
para déclassé (yang
tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu).
[6] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 109.
[7] Pierre
Bourdieu, Ibid.
[8] Pierre
Bourdieu, Ibid.
[9] Peneliti
memilih penggunaan kata ‘distingsi’ sebagai terjemahan dari distinction yang
bermakna lebih dari sekedar keberbedaan atau yang menonjol karena ada unsur
keunggulan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memenangkan suatu
pertarungan.
[10] Pierre Bourdieu, Ibid., hlm. 260.