Belajar Keseimbangan

Februari 13, 2015


Membaca judulnya jangan berpikir bahwa saya akan bercerita pengalaman saya berdiri dengan satu kaki, sambil membungkuk dan melebarkan lengan (masa TK). Atau, berdiri dengan satu kaki sambil menjewer kedua telinga saya (masa SD). Tapi, boleh juga sih saya cerita sedikit tentang pengalaman itu sebelum saya menceritakan apa yang sebenarnya ingin saya umbar dalam tulisan ini.


Kalau ingat masa-masa di TK pasti bahagia (senyum-senyum sendiri). Coba dipikir, kalau bukan di TK, di mana lagi kita bisa jadi pesawat, kancil, srigala, polisi, pilot, pramugari, arsitek dan sebagainya? Coba dipikir, kapan lagi kita bisa 'sok-sok' punya profesi yang keren dan setiap saat bebas ganti-ganti tanpa ada yang komentar nyi-nyir? Ya, cuma di TK. Sayangnya, saat ini kebanyakan TK kurang mengajarkan anak berimajinasi dan bermain, justru anak sekecil itu (nyanyi - Iwan Fals) dipaksa untuk bisa baca-tulis. Yah, mau gimana lagi ya, tuntutan untuk masuk SD semakin tinggi. Alhasil, anak-anak dijejali "asupan" yang tidak sesuai dengan usianya. Ups, kok saya jadi sok mengkritisi ya... Hahaha. Mungkin, jari saya bisa mati rasa kalau harus menceritakan semua pengalaman unik di TK. Baiklah, mari kita akhiri cerita TK dengan mengucapkan, "Alhamdulillah..., masih sempat merasakan masa anak-anak di TK".




Oke, jangan buru-buru dulu ya. Jangan keburu nafsu, karena saya masih ingin cerita (sedikit) tentang masa-masa di SD. Siapa yang pernah dihukum? Saya! (angkat tangan). Siapa yang pernah dimarahi guru? Saya! (angkat tangan). Saya rasa Anda juga pernah merasakan hal itu. Tapi saya tidak akan menceritakan kenapa saya dimarahi guru (karena hanya akan memunculkan pembelaan, seolah saya tidak bersalah).


Saya hanya akan menceritakan pengalaman dihukum berdiri di depan kelas (tentunya) sambil menjewer kedua telinga. Bagaimana rasanya? Ya, kalau dulu malu sangat. Kalau diingat-ingat sekarang (tak tau kenapa) jadi lucu. Saya mencoba memperagakan lagi model hukuman seperti itu, kemudian bercermin. ASTAGA! Pasti dulu saya terlihat imut dengan posisi yang sudah melegenda itu, apalagi kalau ditambah senyum-senyum ala K-Pop. Hahaha. Saya beruntung merasakan hukuman paling legendaris di dunia, dan sekarang hukuman seperti itu sudah hampir punah. Andai dulu handphone berkamera sudah menjamur, dan selfie sedang trend, pasti saya abadikan momen indah itu. Sudah-sudah..., yang tersimpan dalam ingatan itu lebih abadi, Tris...!


Yap, mari tinggalkan ‘basa-basi-busuk’ yang terlalu panjang. Saatnya bicara tentang keseimbangan.


Sejak saya suka bersepeda, saya mulai mempelajari soal ketahanan dan keseimbangan. Saat mengayuh sepeda, saya merasa sedang menggendong dunia di punggung. Kehidupan ada di tangan saya. Kalau saya berhenti, kehidupan juga akan berhenti, karena saya akan meletakkannya dunia di tempat saya memakirkan sepeda. Namun, jika saya terus mengayuh, dunia akan berjalan sesuai dengan jalan yang saya tentukan. Mengingat beban berat yang saya panggul, saya berusaha menjaga ketahanan. Walau rasanya lelah dan ingin menyerah, tapi saya berusaha melampaui batas ketahanan saya. 


Ketahanan, satu hal yang sering dilupakan orang kebanyakan. Mereka hanya merasa harus bertahan semampu mereka. Padahal itu tak akan memberikan pelajaran apapun. Mereka yang mengandalkan kekuatan untuk bertahan, hanya akan mendapatkan pengalaman yang sama. Namun, mereka yang memanfaatkan kelemahan untuk mencapai ‘lebih dari’ batas ketahanan diri akan mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Kalau kita pernah melakukannya, kita akan mengetahui bagaimana cara mempertahankan keseimbangan. Karena untuk menciptakan keseimbangan diri, kita harus tahu ketahanan diri.


Dalam keseimbangan, ketahanan diri merupakan poros. Tanpa poros, kondisi seimbang tidak akan tercipta. Sifat poros harus dipahami secara kontekstual, tidak bisa dibakukan. Karena, poros selalu berubah mengiringi perkembangan diri. Untuk itu, kita harus selalu menguji ketahanan diri. Kuncinya, jangan pernah menganggap bahwa itu merupakan obsesi, anggap ujian itu sebagai pembelajaran yang akan memperbaharui diri.


Saya pernah memiliki pengalaman saat bersepeda. Mungkin ini gila karena membahayakan nyawa, tapi saya melakukannya. Pukul 06.00 WIB saya mulai mengayuh sepeda menuju kawasan Kelapa Gading, hanya butuh waktu 15 menit untuk sampai di sana. Sesampainya di sana saya jogging, sekitar 3 kilo. Setelah itu saya mencoba beberapa alat olahraga yang tersedia, kemudian ikut senam lansia dan dilanjutkan aerobik. Entah kenapa saya tidak merasa lelah sedikitpun.


Setelah beberapa jam berada di sana, saya mengayuh sepeda menuju Penggilingan, rumah saya. Ternyata, perjalanan pulang tidak semudah saat berangkat, di mana saat itu semesta mendukung. Saya melewati kawasan industri pada pukul 08.30 WIB, kendaraan besar sudah banyak berlalu-lalang meskipun di hari Minggu, debu jalanan beterbangan berbaur dengan asap pabrik. Betapa sesaknya napas, mata terasa perih padahal kacamata keren (milik adik) sudah nangkring di hidung (besar) saya. Meski demikian saya terus mengayuh, sempat berpikir untuk istirahat namun saya buang jauh-jauh pikiran itu. Rasanya dada ini sudah dipenuhi abu vulkanik letusan gunung krakatau ratusan tahun silam, dan malaikat pencabut nyawa sedang bertengger di stang saya. Sepeda terus berjalan melawan arah angin, bayangkan betapa beratnya, namun saya sedang berusaha melampaui batas ketahanan saya, dan selama itu keseimbangan semakin terjaga. Saya benar-benar merasakan kenikmatan yang klimaks ketika saya merasa ‘inilah waktu terakhir saya’, karena saat itulah jarak antara saya dengan Tuhan semakin dekat.


Itulah sedikit pengalaman luar biasa, yang memberi pelajaran hebat. Bahwa, kesulitan yang saya alami membantu saya menemukan di mana poros saya, membuatnya semakin kuat, sehingga keseimbangan dalam diri saya tetap terjaga. Keseimbangan di sini tidak berbicara soal ‘pribadi yang positif’, tapi lebih kepada ‘pribadi yang siap’. Ketika pernah berada di posisi terendah, kita tak akan merasa takut dengan berbagai posisi yang nantinya akan kita hadapi.


Melawan orang lain tak akan membuktikan apapun, tapi melawan diri sendiri dapat membuat saya merasa lebih kuat.
 
Design by Pocket