Balada Isteri-Suami

Februari 17, 2015

Dalam sebuah siang yang gersang, berbalut debu yang pekat, saya duduk bersama seorang pria yang telah menjadi seorang ayah. Entah apa yang kami tunggu, di tempat yang sama selama bermenit-menit. Untungnya kami tak menjadi bagian dari debu. Hahaha.

Untuk mengusir rasa bosan, saya melukis di tanah berpasir yang kami pijak. Lukisan yang saya ukir dengan ranting pohon tapi tak memiliki arti, hanya gunung dan pantai. Saya rasa, anak-anak pun mampu melukisnya.

"Kangen anak," ucapnya.
"Seberapa kangen?"
"Banget, susah dijelasin."
"Hm, sama isteri lebih kangen mana?"
"Anak lah," jawabnya singkat.
"Setelah menikah, rasa kangen sama isteri beda atau sama?"
"Beda,"
"Sekarang gimana?"
"Biasa aja. Kalo kangen anak bisa banget banget," jawabnya sambil tersenyum.


Perbincangan yang tidak membuat saya kaget, karena sebelumnya ibu saya pernah menceritakan secara gamblang tentang kehidupan pernikahan. Meski begitu, tetap saja apa yang dikatakan pria itu membuat perasaan terenyuh. Mungkin karena takut kelak saya mendapatkan suami yang seperti dia.

Entah kenapa pikiran saya menjadi terganggu karena hal itu. Dan, saya mulai berpikir, apakah semua orang juga begitu. Baiklah, saya memutuskan untuk mencari tahu. Saya menanyakan pada beberapa orang (yang tentunya sudah menikah), dan saya menemukan banyak hal dalam pencarian itu.

Saat bertanya pada beberapa suami jawaban mereka hampir sama, bahwa anak lebih segalanya dari isteri. Karena, menurut mereka, setelah menikah isteri banyak berubah, jauh dari masa pacaran. Namun, fakta berbeda saya dapatkan dari beberapa isteri. Ternyata, mereka menganggap posisi suami dan anak sama. Mereka sama-sama penting dan prioritas, karena mereka adalah keluarga. Bahkan, ada isteri yang tak segan mengungkapkan perasaan kangennya terhadap suami di hadapan orang lain.

Padahal, sebagian masyarakat kita masih percaya bahwa wanita merupakan sosok yang lebih pemalu dibanding pria. Tapi nyatanya? Silakan nilai sendiri.

Setelah tanya sana-sini, justru membuat saya banyak berpikir tentang jalinan seorang pria dan wanita dalam status pernikahan.

Suami mulai lupa bagaimana rasanya kangen isteri hanya karena perubahan sifat, bentuk tubuh, tutur kata dan penampilan. Tanpa mereka ingat, wanita yang menjadi ibu dari anak-anak mereka adalah gadis yang dulu mereka perjuangkan dan mereka sakiti di malam pertama.

Apakah para suami sadar, bentuk tubuh berubah secara biologis setelah sperma tertanam di dalam rahim isteri mereka? Apakah para suami sadar, isteri tak lagi mengurusi penampilan karena sibuk di dapur, kasur, sumur, terlebih jika bekerja di luar rumah juga? Apakah para suami sadar, perubahan sifat terjadi karena beban yang isteri mereka tanggung dan tak sempat untuk meluapkan? Apakah para suami sadar, tutur kata isteri mereka berubah karena lelah yang tak berkesudahan? Isteri bekerja 24 jam (tanpa penghargaan), suami bekerja hanya sesuai 'jam kantor' (sudah dianggap sangat bertanggungjawab), semestinya menjadi wajar jika isteri berubah. Tapi, kenapa para suami tak dapat melihat kasih isteri yang tak pernah berubah sejak pertama kali mereka saling jatuh cinta...

Ah, sudahlah, kenapa saya jadi emosi...!

Dan selain pernyataan-pertanyaan dramatis yang saya dapatkan, ternyata ada hal lain yang lahir dari pikiran saya. Bahwa, seorang wanita menikah karena ingin membangun keluarga, maka dari itu kasih mereka tak berkesudahan. Sedangkan pria menikah karena hasrat seksual, setelah mendapatkan itu mereka akan merasa puas dan bosan, mulai menuntut lebih dari isteri (kecantikan, kelembutan dan pelayanan lebih di atas kasur). Tapi ketika isteri tak dapat memberi, anak adalah satu-satunya alasan untuk bertahan.

Itu hanya pikiran saya. Semuanya mungkin, mungkin saja. Semoga saya mendapatkan suami yang mencintai dan merindukan saya sepanjang hidupnya. Hahaha.

 
Design by Pocket