Agama Budaya atau Agama Langit (?)

September 30, 2013



Tuhan menurunkan agama sebagai pedoman dasar kehidupan umat manusia. Dengan agama, manusia mamiliki landasan etika dan moral dalam menjalankan hidup sesuai dengan tuntutan Tuhan. Dengan kata lain, agama lahir untuk manciptakan manusia beradab. Agama sebagai sistem nilai tersebut memberi kejelasan kepada manusia tentang apa yang baik dan yang buruk, yang mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.
Setiap agama diisyaratkan memiliki prinsip dasar. Pertama, mengakui suatu logika yang menyatakan bahwa yang satu bisa dipahami dan diyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Kedua, mengakui bahwa kualitas pengalaman keagamaan yang partikular dan beragam itu hanya sebagai alat dan jalan untuk mencapai kebenaran absolut yang universal. Ketiga, walaupun pengalaman religiusitas yang partikular itu dipahami hanya sebagai alat atau jalan untuk mencapai realitas absolut, tetapi masing-masing jalan itu harus diyakini sebagai satu jalan yang mutlak. Namun, sikap ini mengakui adanya kemungkinan penganut jalan yang berbeda, mamiliki sikap yang sama, yaitu memutlakkan jalan yang dianutnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa agama yang ada di bumi tidak hanya satu melainkan beragam, yang masing-masing mengklaim ajarannya paling benar. Pengklaiman semacam itu sebenarnya wajar dan menjadi hak penganutnya, akan tetapi jika tidak diletakan pada posisi yang proposional akan menimbulkan konflik. Apalagi jika sampai menafikan eksistensi agama lain. Kisah bangsa Palestia dan Bosnia, atau konfrontasi Kristen Katolik dan Protestan adalah realita yang tak terbantahkan. Tentu saja agama itu bertolak belakang dengan tujuan lahirnya agama semula.
Jika di atas dikatakan agama sebagai pedoman dasar kehidupan umat manusia, maka seharusnya agama dapat menjadi tempat yang jauh dari persoalaan-persoalan rumit duniawi dan menjadi penyelamat bagi umatnya. Namun pada kenyataannya, banyak persoalan yang menyangkut keagamaan yang sebenarnya muncul bukan karena agama itu sendiri, melainkan muncul dari penganut agama tersebut yang tidak dapat beradaptasi dengan keberagaman.
Keberagaman agama memang tidak dapat dilihat terpisah dari budaya. Agama dan budaya saling memiliki keterkaitan, karena agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Sebenarnya keduanya tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun para penganutnyalah yang tidak mampu beradaptasi dengan keanekaragaman. Beranjak dari hal tersebut, mencuat keniscayaan imperatif (perintah) dan kewajiban etis untuk menciptakan saling pengertian dan penghargaan yang lebih baik antara kaum beragama lewat suatu dialog. Seandainya penganut agama mau berdialog satu sama lain dan mematikan ego masing-masing, duduk sejajar dalam keberagaman agama tetapi dengan satu Tuhan, mungkin dengan begitu tujuan dasar agama akan terbentuk. Dialog satu Tuhan merupakan suatu cara untuk menyatukan para penganut agama. Lebih dari itu dialog ini juga dapat menyelesaikan persoalan etis kemausiaan dewasa ini yang semakin kompleks seiring dengan laju modernisasi. Dengan dialog, diharapkan cara berfikir teologi klasik yang penuh dengan apriori terhadap agama lain terkikis.
Persoalan keberagaman agama -budaya atau langit- pada akhirnya mengarah ke langit. Semuanya memiliki konsep Tuhan yang diyakini paling memiliki otoritas dalam sistem persembahannya. Dalam agama langit pun terjadi kecenderungan didominasi oleh pemahaman ataupun penafsiran manusia dalam pengembangannya. Oleh karena itu hal ini menjadi kabur, masih bisakah agama-agama itu disebut sebagai agama langit, yang diyakini keseluruhannya merupakan kemauan Ilahi. Lalu, jadilah agama-agama itu sebagai agama budaya juga. Termasuk pula dengan agama Islam, yang selama ini paling diyakini sebagai agama langit yang masih murni. Dalam kenyataan banyak yang tampil penuh nuansa agama budaya.
Perdebatan tentang agama budaya dan agama langit pun sering menimbulkan diskusi tak berakhir. Semua agama lokal yang dianut kelompok etnik, seperti agama Jawa, Kaharingan dan sebagainya senantiasa dikelompokkan ke dalam agama budaya. Nyaris tak ada yang menyanggah pandangan ini. Namun, ketika orang berbicara tentang agama etnik besar seperti Buddha, Hindu, Tao maupun Shinto masih banyak yang belum sepakat. Selama ini agama langit hanya dinisbatkan pada agama-agama Timur Tengah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Merekalah yang dianggap sebagai agama wahyu. Sementara itu banyak ahli yang memasukkan kemungkinan pemikir-pemikir kuno seperti Socrates maupun Aristoteles termasuk para nabi, dalam artian penerima wahyu, meskipun mereka tidak berbicara tentang Tuhan. Mereka lebih banyak berbicara tentang tata krama hidup.
Nampaknya ekses dari pengelompokan agama budaya dan agama langit masih meninggalkan kesan mendalam. Ada yang beranggapan, apa pun nama Tuhan mereka, pada hakikatnya satu juga. Inilah pengertian hakikat. Sebagai implikasinya muncullah tradisi atau ritus baru yang disebut "doa bersama". Sementara itu yang menolak "ritus baru" itu beranggapan bahwa secara konseptual pengertian Tuhan itu sudah berbeda. Oleh karenanya tidak sebaiknya dipaksakan untuk dibaurkan. Jadi, sebenarnya fenomena bertuhan tanpa agama, bukanlah sesuatu yang aneh. Karena biasanya kehendak ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi agama yang kerap mendukung terjadinya diskriminasi. Apalagi manusia, secara lahiriah memiliki kapasitas untuk langsung berkomunikasi dengan Tuhan tanpa melalui institusi agama. Dan, fenomena munculnya manusia yang bertuhan tanpa agama harus dimaknai sebagai bentuk kritik terhadap tereduksinya peran agama oleh kepentingan pribadi pemuka agama.
Untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang maju (modern), maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan alternatif proses konflik yang diharapkan dapat mengubah watak dan pola pikir masyarakat dalam menggapai dan merealisasikan tujuan pembangunan dan pengembangan (peningkatan) taraf hidup. Dalam merealisasikan maksud tersebut, tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan (kosmos) yang tetap memegang etika transendental-religius di samping moral kesusilaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya negara modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun batin, maka mengaplikasikan ajaran agama dan Tuhan adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu gugat, di samping harus mempu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya masing-masing.
Seharusnya agama-agama di dunia dilandasi oleh penghargaannya terhadap agama-agama lokal yang bersifat etis dan emansipatoris, yang mampu memberikan pedoman bagi tingkah laku sehari-hari manusia yang penuh damai, toleran, bekerjasama, anti perang, dan mengedepankan pertumbuhan pribadi. Fenomena agama-agama yang telah melahirkan penderitaan manusia: perang, pertikaian, pertentangan, saling jegal, apalagi kematian akibat saling bunuh, adalah agama-agama yang kehilangan akal.
Agama yang bersifat etis dan emansipatoris adalah agama yang mampu membuat seseorang merasakan secara mendalam problem nasib manusia (konflik), keinginan untuk menghapuskan penderitaan umat manusia, dan harapan bahwa masa depan akan mewujudkan kemungkinan terbaik bagi spesies kita.
Hal ini tampaknya dapat dijadikan salah satu referensi untuk belajar merefleksikan dan membangun wajah agama-agama yang lebih manusiawi, lebih santun, lebih menghargai hak hidup manusia-manusia yang lain walaupun memiliki banyak perbedaan, tanpa harus menyingkir-nyingkirkannya dengan alasan bahwa yang lain itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya, serta lebih memusatkan perhatian kepada upaya-upaya untuk menjalin kerjasama menghadapi problem-problem sosial yang konkret.
 
Design by Pocket