Ada banyak
persepsi masyarakat mengenai program Keluarga Berencana (KB) yang mulai disosialisasikan sejak era
kepemimpinan Soeharto. Berbagai pandangan ini tidak dapat digeneralisir
memiliki persamaan berdasarkan latar belakang kelas sosial maupun status
generasi. Misalnya, masyarakat kelas sosial menengah ke bawah dari generasi tua
relatif tidak menggunakan KB karena memiliki pola pikir “banyak anak, banyak
rezeki”. Sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas dari generasi muda sangat
menjunjung tinggi program catur keluarga ini.
Ada pula
persepsi yang muncul berdasarkan penafsiran agama tertentu serta perbedaan pola
pikir masyarakat desa yang tradisional dan masyarakat kota yang relatif modern. Golongan muslim tertentu meyakini
bahwa KB melanggar nilai-nilai agama, sedangkan masyarakat desa yang
tradisional masih dianggap memiliki pandangan bahwa anak akan membawa berkah
yang melimpah, sebabnya dengan memiliki banyak anak maka rezeki pun akan
membanjiri mereka, tanpa melihat kondisi sosial-ekonomi yang dialami.
Sebenarnya, program
KB tidak hanya seputar persepsi masyarakat. Pada awal masa sosialisasi,
penyosialisasian baru dilakukan pada
masyarakat yang telah memiliki keluarga dalam jumlah besar. Lalu ada
masyarakat yang tidak menggunakan KB karena memiliki banyak resiko dan biayanya
yang mahal. Selain itu, penggunaan KB juga membicarakan kecocokan dengan
kualitas tubuh. Beberapa orang tidak cocok menggunakan KB karena tidak memenuhi
sejumlah syarat tertentu. Seperti penderita parises yang tidak dapat
menggunakan KB. Dan tanpa penjelasan signifikan, beberapa orang tetap
melahirkan banyak keturunan sekalipun telah menggunakan KB. Ada juga masyarakat
yang memilih tidak menggunakan KB karena ingin punya banyak anak, tanpa
berdasarkan alasan religius maupun dari latar belakang kelas sosial atas dan
generasi muda.
Lalu apa yang
menjadi perbincangan istimewa dalam program KB. KB atau Keluarga Berencana
adalah sebuah program pemerintah untuk membatasi jumlah anak dalam suatu
keluarga yang senantiasa dapat berkorelasi langsung dengan kesejahteraan
keluarga tersebut. Dari sudut pandang pemerintah, Boediono mengatakan
pembatasan jumlah keluarga melalui program KB akan berhubungan langsung dengan
kesejahteraan suatu daerah terkait penyediaan akses publik. Sedangkan,
masyarakat sendiri memiliki pola pandangan yang relatif.
Hanya saja,
melihat fakta bahwa jumlah penduduk Indonesia semakin padat, sementara
penyediaan akses publik semakin sempit, program KB pun menjadi sangat penting.
Sebuah pendidikan KB diperlukan bagi masyarakat Indonesia untuk memaksimalkan
kesejahteraan hidup. Dan dalam program KB sendiri memang terdapat unsur-unsur
pendidikan yang membimbing masyarakat pada kesejahteraan, sebagaimana tujuan
umum pendidikan.
Pendidikan KB
diberikan pada individu untuk dapat lebih memahami dirinya memperoleh
kesejateraan. Tanpa melihat persepsi, ada sebuah keluarga miskin di suatu desa
memiliki banyak anak. Penghasilan orangtua untuk sebatas bertahan hidup, tidak
mampu menyekolahkan semua anak, mungkin hanya Si Sulung yang dipaksakan
sekolah. Sementara anak yang lainnya harus ikhlas untuk tidak menikmati
pendidikan dan berharap sang kakak sukses dalam sekolahnya hingga membawa
perubahan bagi keluarga. Dan itu mungkin hanya sekilas kisah keluarga yang
tidak mengenyam pendidikan KB. Dengan KB, keluarga miskin tersebut dapat
dididik untuk lebih bisa mengendalikan situasi dengan tidak melahirkan anak
tiap dua tahun sekali. Dengan tidak memiliki anak yang terlalu banyak, maka
tanggungan keluarga pun relatif berkurang. Upaya menyejahterakan semua anggota
keluarga untuk mampu mengakses berbagai kebutuhan dapat lebih memungkinkan
untuk dicapai.
Sebagaimana
masyarakat di Bayah, Banten. Bayah diketahui telah menjadi desa yang maju.
Masyarakat di sana telah mengenyam rata pendidikan, dan tidak sedikit sekolah
di Bayah yang telah berstandar nasional.
Lalu, apakah ada ditengah kemajuan Bayah terdapat keluarga-keluarga yang
belum mengenyam pendidikan KB. Kemajuan Bayah hanya kamuflase dari sektor
pariwisatanya yang menguntungkan. Sementara, kondisi masyarakatnya masih banyak
yang tertinggal karena latar belakang keluarga yang tidak mampu sejahtera
karena kebanyakan anak. Bahkan, anak-anak di sana masih ada yang perlu
bekerja pada usia di bawah umur hanya untuk membantu pendapatan keluarga.
Selain itu, usut punya usut, teknologi internet yang menyentuh Bayah sejak
tahun 2005 telah meningkatkan taraf kenakalan remaja di Bayah. Mungkinkah hal
tersebut bisa dikaitkan dengan kondisi keluarga yang tidak mengenyam program
KB. Pendidikan KB juga memberikan wawasan agar tidak memiliki anak di bawah
usia stabil, sementara diketahui banyak kasus remaja di Bayah yang hamil di
luar nikah.
Dengan demikian,
pendidikan KB masih perlu diberikan pada masyarakat desa yang sedang mengalami
masa transisi. Dalam hal ini, kemajuan di Bayah telah memberikan kondisi
masyarakat yang labil. Tidak hanya bagi generasi tua di Bayah, tetapi juga bagi
para remaja yang memang membutuhkan pendidikan KB. Seperti tidak memiliki anak
pada usia yang terlalu muda, maupun terlalu tua. Memiliki anak dalam kapasitas
dan kualitas tertentu yang diajarkan pada pendidikan KB bisa memberikan
kesejateraan tidak hanya dalam lingkup keluarga, tetapi juga suatu wilayah,
bahkan negara.