Tragedi di Timika bukan
hanya sebuah drama perebutan sumber daya alam (SDA) biasa. Masuknya PT Freeport
Indonesia membawa malapetaka yang berkepanjangan bagi masyarakat Timika.
Pasalnya, terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap SDA dan masyarakatnya.
Alhasil, perusakan alam pun tidak dapat dihindari. Hal itu berdampak buruk bagi
kehidupan masyarakat, khususnya perempuan di wilayah tersebut.
Rusaknya alam dan
pencemaran manyebabkan penduduk sulit mendapatkan air bersih dan sumber
makanan. Situasi ini membuat perempuan harus bekerja labih ekstra untuk dapat
memperoleh bahan-bahan makanan. Mangapa harus perempuan? Karena, perempuan
lekat dengan citra dapur, sumur, dan kasur. Jadi, mau tidak mau perempuan
mengemban tugas tersebut. Apalagi secara tradisi posisi laki-laki di Timika lebih
kuat dibandingkan perempuan, karena sistem kekerabatan di sana menggunakan sistem
patrilineal. Selain itu, pimpinan-pimpinan suku asli adalah laki-laki.
Perempuan tidak diperkenankan ada dalam pusaran wilayah publik. Gereja pun
memperkuat posisi tersebut. Ini merupakan potret marginalisasi perempuan dalam
nagara, masyarakat, gereja, dan keluarga.
Perempuan menanggung
beban paling berat atas ketidaksetaraan yang terjadi. Dalam kasus ini, ada empat
hal yang mendasari terjadinya ketidaksetaraan. Pertama, persamaan hak. Perempuan
dibatasi haknya atas kepemilikan tanah. Perempuan memperoleh hak atas tanah
melalui suami mereka, padahal tanah sangat berpengaruh bagi kehidupan perempuan
Timika. Masyarakat Timika percaya bahwa wilayah tempat mereka tinggal adalah
seorang Ninggok (perempuan atau ibu).
Maka, perusakan alam yang terjadi dianggap sebagai pemerkosaan terhadap
perempuan atau ibu. Namun, tetap saja perempuan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Kedua, sumber daya. Perempuan
masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk
tanah dan keuangan. Dalam tradisi masyarakat asli Timika, laki-laki adalah
pemimpin dalam keluarga, maka laki-laki pula lah yang menerima kucuran dana 1%
dari keuntungan Freeport. Bisa dikatakan bahwa perempuan tidak mendapatkan
akses terhadap dana 1%, dikarenakan perempuan bukan kepala keluarga. Padahal
dengan masuknya PT Freeport mangakibatkan hilangnya tanah dan hutan yang
berdampak secara langsung pada kehidupan perempuan.
Ketiga, aspirasi. Perempuan
Timika kurang terwakili aspirasinya. Sejak awal, perempuan Timika tidak pernah
diajak serta dalam perundingan dan pengambilan keputusan mengenai pelepasan
tanah. Apa yang menjadi perhatian perempuan bisa dikatakan sama sekali tidak
pernah dipertimbangkan. Perempuan hanya berhak menyampaikan aspirasinya melalui
suami atau saudara laki-lakinya.
Keempat, kekerasan. Masuknya
PT Freeport membawa pengaruh buruk terhadap perilaku laki-laki. Industri
pertambangan membutuhkan laki-laki yang keras dan kuat. Untuk dapat menjadi
seperti itu, para pekerja banyak mengonsumsi alkohol. Pengaruh alkohol membuat
laki-laki melakukan kekerasan fisik terhadap perempuan. Selain itu, perusahan
tambang menuntut para pekerjanya untuk bekerja ekstra. Pekerjaan tersebut tidak
memberikan mereka kesempatan untuk refreshing,
alhasil hiburan satu-satunya yang paling memungkinkan bagi mereka adalah seks.
Sehingga, laki-laki sering “belanja” seks. Mabuk dan main perempuan jelas
membuat para perempuan Timika mengalami tindakan kekerasan, baik psikis maupun
fisik.
Potret kehidupan
perempuan Timika amatlah suram. Ketidakadilan gender sangat mewarnai keseharian
mereka. Mereka terpaksa berjuang sendiri menghadapi kekerasan hidup sekaligus
melawan pertambangan yang selama ini merenggut citra mereka sebagai perempuan.