Agama lahir untuk manciptakan manusia beradab. Agama sebagai
sistem nilai tersebut memberi kejelasan kepada manusia tentang apa yang baik
dan buruk, yang mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban. Namun,
perlu diperhatikan bahwa agama yang ada di bumi tidak hanya satu melainkan
terdiri dari berbagai agama yang masing-masing mengklaim ajarannya paling
benar. Pengklaiman semacam itu sebenarnya wajar dan menjadi hak penganutnya,
akan tetapi jika tidak diletakan pada posisi yang proposional akan menimbulkan
konflik. Apalagi jika sampai menafikan eksistensi agama lain.
Agama sebagai pedoman
dasar kehidupan umat manusia, maka seharusnya agama dapat menjadi tempat yang
jauh dari persoalaan-persoalan rumit duniawi dan menjadi penyelamat bagi
umatnya. Namun pada kenyataannya, banyak persoalan yang menyangkut keagamaan
yang sebenarnya muncul bukan karena agama itu sendiri, melainkan muncul dari
penganutnya. Penganut agama saat ini
bukan lagi menjadi pengikut Tuhan mereka, melainkan menjadi penghancur agama
itu sendiri.
Peristiwa tersebut
merupakan persoalan krusial yang dihadapi komunitas beragama kontemporer. Di
Indonesia, kemunculan lembaga-lembaga
agama yang anarkis kerap memicu konflik internal
antarpenganut agama. Peristiwa
konflik organisasi keagamaan dilataribelakangi oleh kemunculan
sekte, mazhab, atau aliran agama.
Pudarnya rezim Orde Baru membuka simpul kekuasaan yang selama
ini mengontrol kehidupan masyarakat. Euforia kebebasan ini dirayakan masyarakat
dengan aneka ekspresi politik seperti lahirnya kebijakan multipartai. Sementara
di wilayah agama, ekspresi tersebut ditandai dengan menjamurnya organisasi keagamaan.
Lembaga-lembaga tersebut bisa jadi merupakan revisi, kritik, atau bahkan titik
balik terhadap ajaran-ajaran sebelumnya.
Kemunculan organisasi keagamaan bermuara pada cara beragama
(ekspresi) dalam merespon berbagai persoalan kontemporer untuk memperlakukan
khazanah tradisi warisan para ulama klasik, bahkan terhadap ajaran pokok
seperti kitab suci dan sunah. Perbedaan cara beragama ini termanifestasikan
dalam hubungan sosial serta tata cara interaksi dengan sesama yang
termanifestasi dalam gagasan, ide, bahkan busana.
Kemunculan organisasi keagamaan juga diakselerasi oleh
semakin derasnya arus modernisasi-industrialisasi yang masuk dalam kehidupan
masyarakat, dan merespon modernisasi secara berbeda-beda. Ada model sikap organisasi
keagamaan, yaitu kelompok yang resisten terhadap modernisme. Model ini
melahirkan gerakan-gerakan keagamaan revivalis, fundamentalis, islamisme, dan
Islam adat.
Di samping itu, lembaga
sosial, termasuk organisasi agama, biasanya mengalami empat tahap siklus muncul
dan memudar. Pertama, periode pengorganisasian awal, yaitu periode munculnya
aliran keagamaan sebagai jawaban terhadap kebutuhan jemaahnya. Pada tahap ini
kebutuhan akan lembaga mulai muncul. Oleh karena itu, masyarakat mulai
mengorganisasi dirinya dengan memilih pemimpin, membuat aturan, membagi peran,
dan fungsi. Kedua, tahap efisiensi di mana lembaga mulai dikenal dan diterima
masyarakat karena fungsi-fungsi dan karyanya di tengah masyarakat. Ketiga,
tahap formalisme yang terjadi ketika berbagai aturan dan ideologi organisasi
telah merasuk ke dalam struktur lembaga. Keempat, tahap disorganisasi. Gejala
ini muncul akibat formalisme. Pada tahap ini lembaga mengalami krisis karena
kehilangan fleksibilitas dan menjadi kurang vital dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat. Pada tahap terakhir ini, organisasi sosial, termasuk organisasi
agama sering tersandung pada repetisi (pengulangan) dan nostalgia gerakannya
sendiri yang semula merupakan inovasi.
Sejarah mencatat dari
tubuh organisasi-organisasi keagamaan yang mengalami formalisme muncul
kebangkitan kelompok-kelompok dinamik yang mengklaim sebagai bentuk murni etika
keagamaan tradisional yang telah diabaikan organisasi induknya. Dengan teori
siklus lembaga, kemunculan kelompok aliran agama menjadi sebuah keniscayaan
sosiologis yang wajar dalam masyarakat modern yang semakin plural.
Emile Durkheim dalam buku The Elementary Forms of Religious
Life (1912) mensinyalir bahwa organisasi keagamaan lahir sebagai asal-usul
sosial, bukan merupakan asal-usul supranatural. Lembaga-lembaga keagamaan
terbentuk secara historis dan sosiologis, karena itu sebuah kelompok agama
(religious groups) hanya dapat bertahan sejauh bisa berkomunikasi dengan kebutuhan
masyarakat bersangkutan.
Organisasi-organisasi keagamaan kini lebih sibuk dengan
agenda-agenda besar dan pragmatis seperti pilpres, pilkada, dan isu demokrasi.
Padahal, jauh di akar rumput ada puluhan atau bahkan jutaan jemaah yang masih
bergelut dengan persoalan ajaran yang tak kunjung dipahami dan menuai
ambiguitas di tengah perubahan sosial budaya, politik, dan teknologi yang kian
dinamik. Oleh karena itu, bukan hal aneh lagi jika di Indonesia sering terjadi
kericuhan yang disebabkan oleh suatu lembaga keagamaan. Ataukah mungkin sikap
anarkis orang-orang yang ada di dalam beberapa lembaga keagamaan hanya sebagai
pelampiasan rasa ketidakpastian dan kebingungan dalam menafsirkan suatu ajaran.
Semua ini terjadi karena kurangnya interasksi sosial, sehingga tidak terwujud sebuah
hubungan timbal balik yang menimbulkan benturan-benturan yang melahirkan konflik.
Interaksi yang tidak sempurna membuat ketidakseimbangan. Penafsiran ajaran yang
satu dengan yang lain dihasilkan dari sosialisasi yang tidak sempurna.
Hal ini tampaknya dapat dijadikan salah satu referensi untuk
belajar merefleksikan dan membangun wajah organisasi keagamaan yang lebih
manusiawi, lebih santun, lebih menghargai hak hidup manusia-manusia yang lain
walaupun memiliki banyak perbedaan, tanpa harus menyingkir-nyingkirkannya
dengan alasan bahwa yang lain itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya,
serta lebih memusatkan perhatian kepada upaya-upaya untuk menjalin kerjasama
menghadapi problem-problem sosial yang konkret.
Dalam
mempelajari serta memahami konsep keagamaan tidak selalu sama dan mengahasilkan
titik temu untuk menjawab segala persoalan yang bersangkutan dengan hal
tersebut. Oleh karena itu, setiap orang boleh memberikan pengertian atau
tafsiran menurut pendapatnya sendiri-sendiri selama tidak terlepas dari
ajaran-ajaran keagamaan. Ajaran agama sangat multi tafsir. Apalagi jika
agama sudah dilembagakan. Setiap penganut agama yang ada di dalamnya dapat secara
bebas menafsirkan ajaran agama yang dianutnya. Agama bukan lagi dilahirkan
sebagai sesuatu yang bersifat murni, tapi kini agama dilahirkan untuk
dilembagakan, maka agama dapat dicampurtangankan.
Teori
struktural-fungsional yang merupakan embrio dari teori konflik, kendati
dianggap mempunyai pendangan yang berbeda, akan tetapi pada hakekatnya keduanya
saling mengisi. Artinya pada kondisi yang dimaksud dalam teori
struktural-fungsional akan dimonitor dan dikoreksi oleh teori konflik dan
begitu juga sebaliknya, sehingga dalam merespon masalah sosial keduanya saling
memberi dan menerima.[1] Seharusnya
organisasi keagamaan yang ada, memiliki landasan penghargaan terhadap lembaga lainnya supaya mampu
memberikan pedoman bagi tingkah laku sehari-hari manusia yang penuh damai,
toleran, bekerjasama, anti perang, dan mengedepankan pertumbuhan pribadi. Fenomena agama-agama
yang telah melahirkan penderitaan manusia: perang, pertikaian, pertentangan,
saling jegal, apalagi kematian akibat saling bunuh, adalah agama-agama yang
kehilangan akal.
Dalam buku Teori Sosial Kritis, (2003) Ben Agger
menyatakan bahwa tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh
agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan (kosmos) yang tetap memegang
etika transcendental-religius di samping moral kesusilaan dalam hubungannya dengan
kehidupan bermasyarakat.
Untuk
merealisasikan keinginan terwujudnya negara modern (maju) yang akan
mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir maupun batin, maka
mengaplikasikan ajaran agama adalah sebuah keharusan yang tak dapat diganggu
gugat, di samping harus mampu melahirkan manusia-manusia yang bercirikan dengan
wataknya masing-masing. Pada dasarnya manusia selalu membutuhkan bantuan dan
uluran tangan orang lain. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, mereka
senantiasa mengadakan interasksi sosial, sehingga akan terwujud sebuah hubungan
timbal balik, interaksi ini suatu ketika akan menimbulkan benturan-benturan
yang tidak menutup kemungkinan justru menjadi konflik.
Di Indonesia, agama memiliki peran penting dalam
lembaga, baik lembaga agama, politik, pendidikan, maupun ekonomi. Agama telah
membaur ke dalam organnisasi-organisasi. Semuanya mempunyai kesamaan
kepentingan untuk menyeimbangkan,
karena apabila dibiarkan tanpa ada penyatuan dari pihak pemerintah bisa
menimbulkan terjadinya konflik yang berkepanjangan, yang menyebabkan rusaknya
sendi-sendi tatanan sosial bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan organisasi keagamaan untuk
memberikan pemahaman secara komprehensif bagi umatnya, sehingga tidak
menyebabkan terjadinya multitafsir
dalam meganut suatu paham. Sebagaimana pada
Konstitusi negara kita, bahwa setiap individu diberikan kebebasan dalam memeluk
agama yang diyakini.