Pendahuluan
Pada mulanya adalah konstruksi sosial. Apa yang didefinisikan sebagai
cantik, modern, dan beradab ditentukan lewat konstruksi sosial. Kepentingan
bisnis tentu saja turut menumpang di dalamnya. Siapa yang tidak tahu tentang
kecantikan? Semua orang pasti tahu, terutama para perempuan yang selalu
diidentikan dengan kata cantik. Sejak zaman dahulu, perempuan sudah
dikonstruksikan sebagai makhluk yang cantik, identik dengan keindahan. Meskipun kecantikan selalu dikaitkan dengan perempuan, namun laki-laki turut
andil dalam merekonstruksi kecantikan. Konon, kecantikan dianggap sebagai
anugerah terindah bagi perempuan. Karena, kecantikan seperti magnet yang mampu
menarik perhatian banyak orang.
Selain itu, banyak kisah yang menuturkan kecantikan sebagai penghancur
laki-laki, keagungan dan kekuasaan laki-laki dapat jatuh di bawah kakinya.
Tidak heran jika dalam mitologi kuno dilukiskan pengaruh seorang perempuan
cantik yang mampu membuat laki-laki bersedia berkorban dan melakukan apa saja
demi mendapatkan perempuan cantik tersebut. Kisah Julius Cesar dan Cleopatra,
Rama dan Shinta, perebutan perempuan cantik antara Qabil dan Habil,
perselisihan antara Epimetheus dan Prometheus demi memperebutkan Pandora yang
cantik, merupakan beberapa kisah yang berpartisipasi dalam pembentukan mitos
kecantikan yang sampai saat ini masih diagung-agungkan. Mitos ini telah berlaku
sepanjang sejarah perempuan, sehingga kecantikan dipandang sebagai sesuatu yang
objektif dan universal.
Perempuan ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pasti ingin memiliki
perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat anggapan ini dirasakan oleh
perempaun. Perempuan merasa sakit, malu dan sedih karena mitos kecantikan. Hal ini memunculkan rasa cemburu atau iri. Akhirnya, mereka menderita
karena persaingan antarsesama. Tidak mengherankan jika saat ini banyak
perempuan yang berbondong-bondong menyulap dirinya menjadi “cantik”.
Kecantikan telah dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga
tak jarang perempuan sangat terobsesi untuk mendapatkan kecantikan.
Tempat-tempat kebugaran, spa, salon kecantikan, toko kosmetik dan berbagai
institusi kecantikan yang lain menjadi tempat-tempat yang diminati perempuan
untuk mengubah dirinya menjadi cantik. Bahkan, mereka tidak segan untuk
mengeluarkan biaya yang banyak. Inilah yang dimanfaatkan oleh kapitalis.
Saat ini identitas perempuan berada dalam konstruksi sosial yang diciptakan
oleh kaum kapitalis. Bagi kapitalis, kecantikan merupakan salah satu wilayah
strategis yang dapat dijadikan objek komoditas. Maka dari itu, mitos-mitos kecantikan
benar-benar dikembangkan dan disosialisasikan untuk menumbuhkan keinginan dalam
diri perempuan. Berbagai komoditi atau produk kecantikan diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan perempuan untuk menjadi cantik dan menarik. Ironisnya,
majalah maupun iklan dalam dunia kecantikan menjadikan perempuan sebagai target
atau sasaran utama pemasaran produknya. Media turut bertanggung jawab dalam hal
ini. Nilai-nilai yang terkandung di dalam strategi kapitalisme
menyosialisasikan para kaum perempuan agar memperlakukan tubuhnya lebih sebagai
objek untuk diamati.
Pembahasan
Saat mendengarkan kata cantik, apa yang terbayang dalam imajinasi kita?
Perempuan, itu pasti: putih atau hitam manis, tubuh dengan berat badan ideal,
rambut lurus hitam atau ikal, bentuk tubuh tipis dengan hidung bangir, bibir
tipis, ada lesung pipi, dan sebagainya. Hampir setiap tahun standar tentang
kecantikan ini berubah-ubah. Lalu pertanyaannya, menurut siapakah standar
kecantikan dibuat, dan untuk siapa?
Naomi Wolf menggambarkan keberhasilan gerakan feminisme pada awal 1970 yang
mampu meraih hak-hak hukum dan reproduksi, di samping mendapatkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Akan tetapi, keberhasilan tersebut tidak diikuti
dengan kebebasan kaum perempuan untuk merasa nyaman dan jujur dengan tubuhnya.
Di sini kaum perempuan masih terbelenggu dengan citra kecantikan.
Sejak
dahulu tubuh perempuan selalu dijadikan objek budaya patriarki yang makin
direkonstruksi oleh kaum kapitalis yang mencari keuntungan dari tubuh
perempuan. Objektivikasi terhadap tubuh perempuan juga perlu diwaspadai, karena
tubuh perempuan dilepaskan dari pribadi, karakter, dan pikirannya hanya untuk
menjadi seonggok tubuh.
Mitos-mitos
yang diciptakan oleh budaya patriarki mulai bisa dilawan oleh perempuan, tapi
seperti yang dikatakan oleh Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty Mith,
sampai sekarang ini perempuan belum bisa melepaskan diri mitos kecantikan.
Kecantikan menjadi penindas baru bagi perempuan, mungkin nantinya bisa
menggantikan posisi budaya patriarki.
Tubuh
perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Hal ini
memiliki keterkaitan dengan feminisme marxis, di mana perempuan dianggap
sebagai properti semata. Penafsiran tentang tubuh perempuan sering
direalisasikan melalui iklan-iklan di media massa, baik itu televisi, ataupun
majalah-majalah (majalah perempuan maupun laki-laki), bahkan merambah ke bacaan
anak-anak. Dengan berbagai wacana bias gendernya, tubuh perempuan sering
dikonotasikan dengan kecantikan, keindahan, dan penuh estetika.
Fakta
Berbicara: Mitos Kecantikan yang Menindas
Banyak pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi
hanya karena persoalan kecantikan. Dengan menggunakan standarisasi yang disebut
PBQ (A Professional Beauty Qualification) atau Kualifikasi Kecantikan
Professional, perusahaan-perusahaan membuat seolah-olah tidak terjadi
diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa PBQ merupakan syarat untuk
melakukan kerja yang mereka inginkan. Oleh standar tersebut kaum perempuan
dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka. Di luar standar tersebut,
maka perempuan tidak dikategorikan cantik. Dari beberapa kasus pemutusan
hubungan kerja yang dialami oleh kaum perempuan, sebagian besar disebabkan oleh
tidak terpenuhinya syarat-syarat kecantikan yang telah ditentukan oleh
perusahaan.
Pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja juga sering memanen
kekalahan di meja hijau, karena paradigma hukum yang dipakai selama ini adalah
paradigma hukum yang maskulin. Kecantikan atau seksualitas tubuh perempuan
selalu dianggap sebagai provokasi terjadinya pelecehan seksual terhadap
perempuan itu sendiri.
Mitos kecantikan sangat lekat dengan kebudayaan. Perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhuk yang dilihat dan
dinilai oleh pria. Stereotip-stereotip (pencitraan) tentang perempuan
diciptakan untuk semakin dekat dengan mitos kecantikan, sehingga perempuan
hanya mempunyai dua pilihan: memiliki pikiran atau memiliki kecantikan.
Mitos kecantikan juga disisipkan lewat religiusitas. Tatanan masyarakat
menggunakan religiusitas untuk mengontrol tubuh perempuan dan tidak mendukung
keterlibatan perempuan dalam dunia publik yang sekular. Di samping itu
bahasa-bahasa religius sering digunakan dalam buku-buku tentang diet dan
perempuan. Agama patriarkal telah berhasil mengontrol seksualitas kaum
perempuan dengan berbagai macam mitos-mitos seputar seksualitas perempuan,
seperti mengukuhkan pentingnya keperawanan bagi kaum perempuan. Jika
keperawanan perempuan hilang, maka ia dikatakan reject, tidak cantik
(dalam hal ini kemoralannya) dan kerap disingkirkan.
Hal tersebut mambuat para perempuan dihantui rasa takut, karena harus
selalu menjaga keperawanannya yang diwujudkan dalam bentuk selaput dara. Seksualitas
perempuan didefinisikan dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang negatif;
moralitas pun kerap diukur dari tubuh dan seksualitas perempuan. Mitos kecantikan
yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat -khususnya kaum perempuan- lewat
berbagai macam media yang diperkuat dengan budaya patriarkhi, menyebabkan kaum
perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat
memuja berat badan ideal.
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum
perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan
bedah komestik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Perhatikan
gambar di atas, gambar tersebut merupakan bukti nyata kerugian yang dialami
perempuan. Dengan malakukan operasi plastik mereka berusaha memenuhi tuntutan
standar kecantikan yang berlaku di masyarakat. Serangan kecantikan yang
bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan terjadinya kekerasan hak
asasi terhadap tubuh perempuan. Mengutip tulisan Naomi Wolf, “Setelah melampaui
mitos kecantikan, perempuan tetap akan disalahkan karena penampilan mereka. Perempuan akan disalahkan oleh siapa saja
yang merasa perlu untuk menyalahkan mereka. Perempuan “cantik” tidak menang di
atas mitos kecantikan.”
Dari sudut
pandang multikultural, relasi antara kepentingan pasar dan budaya patriarki,
sepenuhnya telah memasukkan sosok perempuan dalam mitos kecantikan. Mitos
sering digunakan untuk dapat mengontrol sepenuhnya tubuh perempuan. Sejak kecil
seorang anak perempuan dibesarkan dengan mitos tentang ibu, kepatuhan dan
kecantikan. Persepsi kecantikan dengan detail meresap dalam relung kesadaran
perempuan, melalui mekanisme sosialisasi.
Kecantikan:
Dari Mitos Hingga Ideologi
Ideologi kecantikan membawa elemen konstruksi perempuan cantik. Pun secara
definitif, pesan ‘kecantikan’ telah mengafirmasi sosok perempuan cantik dengan
imajinasi laki-laki. Mitos kecantikan secara telak menyerang perempuan dengan
segenap kompleksitas kultural. Definisi ”cantik” lantas dipuja dan diamini
seluruh perempuan sejagat. Di negeri ini, dalam kondisi masyarakat kita yang
menyukai hal-hal serba visual, gelombang iklan kecantikan yang memonopoli makna
cantik hadir sebagai media untuk melegitimasi bahwa seorang perempuan harus
langsing atau sintal, berkulit mulus, serta rambut indah.
Dari iklan-iklan dan gebyar sinetron di televisi itulah para perempuan
”mengukur” dirinya dengan prototipe ”cantik” yang diciptakan oleh iklan dan
berbagai acara itu. Ironisnya, mayoritas perempuan relatif merasakan adanya
kesenjangan antara citra tubuh ideal dan tubuh ”nyata” dirinya. Karena merasa
”tak puas” dengan apa yang dimilikinya, baik itu rambut, wajah, tinggi badan,
maupun bentuk tubuh, kerap kali sang perempuan akhirnya menjadi tidak percaya
diri, sedih, kecewa, dan marah. Perasaan negatif itu muncul karena merasa
dirinya tidak seideal dengan apa yang dicitrakan di televisi, iklan, dan medium
lainnya.
Problema makna cantik ini memang bukan persoalan sepele, karena menghujam
langsung ke arah pemahaman atau persepsi seseorang, yang muaranya akan
memengaruhi kepercayaan diri orang tersebut. Jika kepercayaan diri terpengaruh,
akibatnya sangat mengkhawatirkan, sebab bisa jadi seumur hidupnya perempuan
tersebut selalu merasa minder dan tidak bisa mengaktualisasikan bakat serta
kemampuannya.
Namun, ada apa sebenarnya yang terjadi hingga “cantik” menjadi semacam “kewajiban”
bagi perempuan? Dalam kajian
feminisme, pandangan semacam itu muncul karena konstruksi budaya masyarakat
yang masih sangat kapitalis-patriakis. Budaya masyarakat yang semacam itu
selalu memandang tubuh perempuan sebagai objek. Jerat kapitalis-patriarkis ini
memang mengkonstruksi body
image (citra tubuh) sebagai
“legitimasi eksistensi”, sehingga perempuan harus terus mengidealkan tubuhnya
untuk bisa diakui eksistensinya.
Kita melihat bagaimana sinetron, iklan, dan film terus mengampanyekan dan
memperkuat makna cantik yang monopolistik tersebut. Prototipe perempuan cantik begitu
kental terasa. Tidak ada satu pun bintang sinetron perempuan yang sosok dirinya
berada di luar klasifikasi “cantik”. Kalau pun ada, perempuan yang tidak
memenuhi syarat “cantik” itu pasti diberi peran-peran remeh, semisal pembantu.
Kampanye luar biasa tentang monopoli definisi atau makna cantik tersebut
tidak lain adalah untuk kepentingan ekspansi produk-produk kecantikan. Sekali
lagi, kepentingan bisnis bermain di sini. Dengan gencarnya produksi definisi “cantik”
tersebut, kaum perempuan akan selalu merasa kurang
ideal sesuai dengan citra cantik yang diproduksi lewat iklan produk kecantikan
yang setiap saat menyergap kita. Dengan merasa kurang ideal itulah, para
perempuan lantas berduyun-duyun membeli produk kecantikan, tidak peduli
berapapun harganya.
Dari sini jelas dinyatakan bahwa reproduksi definisi ”cantik” secara
terus-menerus telah menempatkan perempuan sebagai obyek yang tidak otonom
terhadap tubuhnya sendiri, karena citra ideal tentang tubuh ditentukan oleh
kekuatan luar, yaitu iklan, sinetron, dan medium sejenisnya.
Penutup
Gencarnya serangan kecantikan semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang
publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan diyakinkankan dengan mitos-mitos
kecantikan yang semakin menjerumuskan kaum perempuan dalam jurang pemujaan
terhadap kecantikan. Mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk
menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai
citra kecantikan perempuan. Mitos kecantikan telah ada sebelum Revolusi
Industri sama tuanya dengan patriarki.
Dampak mitos
kecantikan yang luar biasa harus dipikul perempuan. Berbagai tuntutan ini telah
menghancurkan perempuan, baik secara psikis maupun fisik. Waktu, usaha, dan
uang harus dikeluarkan perempuan untuk mempercantik penampilannya. Sedangkan
untuk laki-laki tidak ada tuntutan seperti itu.
Seharusnya
para perempuan menyadari bahwa standar kecantikan tidak mungkin dicapai karena
selalu berubah. Perempuan akan bebas dari mitos kecantikan ketika dapat
memilih untuk menggunakan wajah, tubuh, dan pakaian sebagai salah satu bentuk
yang paling sederhana dari ekspresi diri. Setiap
perempuan itu unik. Tak peduli warna kulit, bentuk hidung, bibir, mata dan
rambut, pendek atau tinggi, kurus atau gemuk, mitos kecantikan yang selama ini
menjadi bumerang, tidak akan berarti apa-apa. Karena, pada dasarnya setiap
perempuan itu cantik. Jangan membandingakn diri sendiri dengan perempuan lain
agar tidak merusak kurikulum Tuhan.
Selain itu,
perempuan harus dibiasakan dan membiasakan diri untuk menjadi diri sendiri.
Dengan menjadi diri sendiri, seorang perempuan akan merasa istimewa dan nyaman
dengan tubuhnya. Yang jelas, jika perempuan mampu berdamai dengan dirinya, maka
ia akan merasa cantik. Dalam hal ini, sosialisasi sejak dini sangat dibutuhkan
supaya dapat memupuskan mitos kecantikan yang merupakan produk dari budaya
patriarki.
Daftar
Pustaka
Buku:
Melliana, Anastasia. 2006. Menjelajah Tubuh: Perempuan
dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta: Lkis.
Wolf, Naomi. 2004. Mitos Kecantikan: Kala
Kecantikan Menindas Perempuan. Niagara.
Jurnal:
Misiyah. 2006. Pengalaman Perempuan: Sumber Pengetahuan
yang Membebaskan. Jurnal Perempuan (48): 39-49.
Swastika, Alia. 2009. Seksualitas, Tubuh, dan Citra Baru
Perempuan. Jurnal Perempuan (62): 53-73.
Internet:
http://mahardhikayogyakarta.wordpress.com/2009/06/23/resensi-bukumitos-kecantikan-kala-kecantikan-menindas-perempuan/.
Diakses pada 12 Juni 2010, pukul 22.33.
http://blog.rawins.com/2010/02/perempuan-dan-kebertubuhan.html.
Diakses pada 12 Juni 2010, pukul 22.53.