Pagi, namun
matahari belum tampak. Suasana dingin malam masih tertinggal. Angin berhembus
lebut menyapu rambut seorang gadis yang berdiri di tengah savana, mengibas
searah dengan rerumput yang bergoyang. Gadis itu tampak tenang, ia membuka
jaketnya sebelum melepaskan alas kaki. Seperti tak merasa kedinginan, ia sama
sekali tak bergeming ketika kakinya menginjak rumput yang basah karena embun.
Ia mulai berjalan dengan langkah kecil, tetap tenang dan anggun. Perlahan
direntangkan kedua tangannya seolah ingin memeluk sesuatu. Menghirup napas
seperti menikmati aroma kopi yang baru diseduh. Ia terlihat sangat bahagia
menjadi perempuan penyendiri yang suka menikmati pagi.
“Milka! Milka!
Mil…….ka….!” suara seorang pria berhamburan di padang yang luas itu.
Ya, tentu saja si
pria memanggil perempuan penyendiri itu. Milka mendengar, namun ia mengabaikan.
Sampai akhirnya sesosok pria tinggi menarik tangannya yang sedang merentang.
“Lepas. Jangan
ganggu aku!” ujar gadis putih itu dengan tegas.
Milka berusaha
melepaskan tangannya dari cengkraman lelaki itu, namun ia tak kuasa karena
tangan lelaki itu jelas lebih besar dibanding tangannya.
“Jangan berusaha
memberontak. Pulanglah, kau harus ikut aku.”
Milka tak
bergerak. Tanpa basa-basi pria itu menarik Milka, dan gadis itu tampak pasrah.
Matanya tampak mendung, sebentar lagi hujan turun.
“Ayah, aku tak
mau melakukannya lagi,” isak Milka.
Pria yang ia
sebut sebagai ayah itu tampak tak peduli. “Masuk! Jika kau memberontak, aku tak
segan untuk memaksamu dengan caraku!”
Milka masuk ke
mobil, tentu saja tanpa alas kaki, kemudian disusul ayahnya. Mesin dinyalakan.
Mobil sedan itu melaju dengan cepat. Di dalamnya tak ada percakapan kecuali
tangis kecil Milka.
“Wanita itu
sudah mati, aku tak mau kehilangan untuk kedua kali, jadi ikuti kata-kataku,”
ucap Ayah Milka.
Milka, gadis
tanpa ibu. Mungkin itulah yang membuatnya senang menyendiri. Anak tunggal,
tanpa ibu, tak ada tempat berbagi. Teman? Ia tak pernah punya teman hingga usianya
22 tahun. Sejak kepergian ibunya 10 tahun yang lalu, Milka menjadi pemurung. Ia
tak mau ke sekolah karena malu. Setiap pulang ke rumah ia membanting pintu dan
menangis. Mengunci diri di kamar.
Melihat sikap
Milka seperti itu, ayahnya tak pernah bertanya tentang penyebab kesedihan
putrinya. Tak perlu bertanya, karena ia sudah tahu. Ia lebih memilih menjaga
perasaannya sendiri daripada menenangkan anaknya. Dan akhirnya, ia memutuskan
untuk tidak membiarkan Milka berhubungan dengan dunia luar. Tujuannya, supaya
Milka tidak sakit. Namun, yang dilakukan pria itu justru membuat anaknya sakit.
Tangis Milka
semakin dalam. Ia teringat peristiwa lalu saat ayahnya mengusir satu-satunya
teman baik Milka. Teman yang tidak pernah tahu latar belakang keluarga Milka,
mungkin kalau ia tahu maka si gadis hanya akan menjadi objek ejekan bagi
temannya itu, dan saat itu ia tidak akan menyebutnya teman, juga merindukannya
setiap saat, seperti saat ini. Tapi kenyataannya, yang Milka tahu, sampai saat ini
si teman tidak tahu latar belakang keluarganya, bahkan ia pun tak tahu mengapa
ayah Milka memisahkan mereka.
“Di mana dia?
Aku ingin bertemu dengannya!” gumam Milka.
“Siapa? Wanita
itu? Bukankah, kita sepakat bahwa dia telah mati.”
“Ayah, aku mau
kembali ke tempat tinggal kita yang dulu, sebentar saja….”
“Untuk apa?”
“Aku rindu
sekolah dan teman-temanku.”
“Teman-teman?
Berapa banyak temanmu yang tidak kuketahui?”
“Tidak. Temanku.
Hanya satu. Yang dulu pernah kauusir.”
“Di sana tak ada
rumput,” lelaki berusia 50 tahun itu berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Aku suka
Savana, rindu Savana, dia di sana.” Milka membuang pandangannya ke luar jendela
mobil.
“Savana? Di
Jakarta? Kau benar-benar sakit, Nak.”
***
Mobil berhenti. Terparkir
di depan rumah megah. Mereka sampai di tempat tujuan. Si ayah turun lebih dulu
dan membukakan pintu untuk anaknya. “Turunlah, Nak. Dia menunggumu.”
Mereka berjalan memasuki
rumah megah yang sudah sering mereka datangi. Ya, sekali dalam sebulan Milka
dan ayahnya datang ke tempat itu, tentu saja dengan sebuah tujuan. Mengobati
Milka. Sudah 8 tahun Milka rutin menjalani pengobatan ini, padahal ia tidak
benar-benar sakit.
“Hei, Milka, apa
kabar?” sapa wanita berjas putih dengan nama ‘Sara Swendra’ yang terpatri di atas
saku bagian kirinya.
“Masih seperti
sebulan yang lalu.”
“Apa ada hal
buruk yang kau alami dalam sebulan ini?”
“Ya, bukan dalam
sebulan, tapi seumur hidupku. Dan kurasa, kau tau itu.”
“Baiklah. Apa
kau masih rutin mengonsumsi obat yang kuberi?”
“Tidak. Aku
tidak gila. Mungkin ayahku lebih membutuhkan.”
“Kau tak ada
kemajuan. Kau akan semakin lama berhadapan denganku.”
“Bukankah itu
yang kau mau? Aku tidak gila, tapi kau memaksaku untuk mengaku gila. Aku tidak
sakit, tapi kau justru membuatku sakit. Katakan pada ayahku untuk menghentikan
ini.”
“Milka,
tenangkan dirimu. Aku mengerti posisimu dan apa yang kau rasakan. Kau masih
menyimpan dendam pada ibumu.”
“Tidak.”
“Semakin kau
menyangkal, semakin menunjukan bahwa kau merasakan hal itu.”
“Cukup. Aku ingin
pulang.”
“Tunggu. Apa
yang kau inginkan saat ini?”
“Ke Jakarta,
melihat Savana.”
“Savana? Di
Jakarta?”
Wanita berusia
45 tahun itu menggelengkan kepala. Ia berpikir bahwa Milka memang memiliki
gangguan kejiwaan. Sebagai psikiater ia berusaha menolong Milka supaya gadis
itu dapat menolong dirinya sendiri untuk lepas dari sesuatu yang disebut
penyakit kejiwaan. Namun, seperti kebanyakan psikiater, Sara justru membuat
pasiennya semakin merasa sakit. Dengan begitu ia memiliki “pelanggan” tetap.
Orang-orang seperti Sara hanya punya satu tujuan, menghancurkan kehidupan
pasiennya untuk membangun perekonomian pribadi. Maka, berurusan dengan orang
sakit bukan lagi sebagai bukti rasa kemanusiaan, melainkan bisnis semata.
“Kau pasti
menganggapku gila, kan?”
“Baiklah, kita
sudahi saja untuk hari ini. Tampaknya kau tidak lebih baik dari pertemuan
sebelumnya. Aku akan bicara dengan ayahmu. Silakan keluar, panggil ayahmu.
Semoga kau sehat selalu. Terima kasih.”
“Aku tidak
sakit!” Milka beranjak dari kursinya dan meninggalkan psikiter itu di
ruangannya.
Milka
mengepalkan tangannya seolah ia siap untuk menghantam apapun yang dilihatnya.
Namun, ia tak melakukan itu, karena ia bukan gadis kasar. Ketika kesal ia lebih
memilih untuk menangis dan menyendiri.
“Masuklah. Aku
sudah selesai. Dia ingin bicara denganmu, mungkin soal ke-GILA-anku.”
“Berhentilah
bersikap kekanak-kanakan!” ucap si ayah sambil berjalan menuju ruangan
konsultasi.
Gadis itu duduk
menunggu. Ia tak memikirkan apa yang dibicarakan mereka. Yang memenuhi
kepalanya saat ini hanyalah Savana. Tak ada yang tahu tentang Savana di Jakarta
selain dirinya. Bahkan, ayahnya pun -yang merasa sangat mengenal putrinya-
tidak sedikitpun tahu hal itu. Milka ingin sekali membenturkan kepalanya ke
dinding supaya Savana dapat keluar dari kepalanya, namun ia tak bisa
melakukannya. Ia takut sakit, dan semakin sulit untuk melihat Savana. Ia
berusaha tampak ‘normal’ seperti yang diinginkan ayahnya. Ia berpikir, mungkin
dengan cara seperti itu Savana di Jakarta bukan hal yang mustahil.
“Apa yang kau
pikirkan? Ayo pulang.”
“Ayah…. A….”
“Kau mau tahu
apa yang kami bicarakan di dalam? Nanti kuceritakan di mobil,” potong ayah
Milka sambil menuju parkiran dan putrinya mengikuti di belakang seperti ekor.
***
Mobil melaju tenang di sepanjang jalan yang mulus. Tapi Milka tidak tenang. Ia
melemparkan pandangannya ke jendela, sorot matanya tidak fokus. Si ayah mulai
curiga dengan sikap anaknya. Ia melirik gadis berambut panjang itu.
“Kau sedang
tidak baik hari ini, begitu katanya,” ucap ayah memecah kesunyian.
“Aku tak peduli
dengan pendapatnya,” ketus Milka tanpa melepas pandangannya.
“Kau
seharusnya….”
“Ayah, aku mau
ke Jakarta, seminggu saja,” potong Milka dengan sigap.
“Untuk melihat
Savana? Kau ini….”
“Gila? Itu yang
ingin ayah katakan? Aku bisa melihat Savana di sana. Aku berjanji, hanya
seminggu.”
“Baiklah. Kau
tinggal di rumah lama, setelah seminggu aku akan menjemputmu. Lusa, kuantar kau
ke Jakarta. Aku akan menyuruh orang untuk membersihkan rumah itu dulu.”
Milka hanya
tersenyum, ada sedikit kebahagiaan yang tak dapat ia ungkapkan dengan kalimat,
bahkan hanya untuk sepatah katapun tak bisa terlontar dari bibir kecilnya.
“Seminggu. Tidak
lebih,” tambah ayahnya.
***
Jakarta, desa raksasa yang rumit. Orang-orang yang datang ke tempat itu adalah
orang-orang yang memiliki kerumitan hidup yang tinggi, sehingga mereka butuh
sesuatu yang lebih rumit untuk meminimalisir kerumitan dalam dirinya. Jakarta,
tempat yang cocok bagi mereka, termasuk Milka.
“Jaga dirimu
baik-baik. Aku akan kembali seminggu lagi.”
“Terimakasih,
Ayah.”
Milka
menginjakan kaki di teras rumah usang itu. Ia kembali ke rumah, bersama itu
pula kenangan masa lalunya kembali. Ia membuka pintu rumah masa kecilnya, dan
tanpa ijin perasaan lain datang, mengganggu, mendorong airmatanya keluar. Milka
menangis, teringat segalanya. Kenangan indah bersama ayah dan ibu. Kenangan
pahit saat berpisah dengan ibu yang memilih meninggalkan ia dan ayahnya demi
pria lain, rekan kerjanya. Itulah yang membuat ayah Milka tak mau mengingatnya
lagi, dan memilih meninggalkan kenangan masa lalu, termasuk rumah, lingkungan
dan orang-orang yang sering menggunjing tentang kehancuran keluarganya seolah
penjara tanpa dinding. Milka berusaha menepis kenangan buruk itu.
“Aku kembali
bukan untuk mengenang ibu. Ibu sudah mati. Aku kembali untuk mencari Savana,”
kata Milka pada dirinya sendiri.
Milka
menjatuhkan barang-barang yang sudah ia jinjing sejak turun dari mobil. Kaki
kecilnya dengan gesit menyusuri anak tangga. Ia berlari dengan cepat, menuju
lantai 2, lantai teratas rumahnya. Matanya tertuju pada satu jendela, jendela
Savana. Ia menyibak tirai dan mengedarkan matanya ke seberang. Ya, tepat di
seberang rumahnya, dulu, ada Savana. Savana tumbuh di sana. Milka melihatnya
dan jatuh cinta. Sejak saat itulah muncul Jendela Savana.
“Savana tak tampak.
Ke mana dia…,” gumam Milka.
Milka tidak
putus asa, dia menunggu seharian di tepi jendela. Di jendela itulah ia mengenal
Savana. Savana tempat berbagi segalanya, kecuali masalah keluarga Milka. Mereka
hanya berbagi kesenangan. Mandi sinar matahari bersama, menikmati hujan dan
piknik seperti sepasang orang dewasa yang sedang jatuh cinta.
“Savana, aku
menunggumu. Hari sudah gelap, kuharap saat mentari terbit esok hari kau
membangunkanku dengan wewangianmu,” doa Milka dalam hati.
***
Matahari
menjalankan tugasnya pagi ini, sinarnya menerobos tirai dan jatuh di wajah
Milka, sehingga gadis itu terbangun dari tidur lelapnya. Tanpa berpikir
panjang, Milka kembali ke jendela, masih berharap hal yang sama.
Waktu terus
berjalan. Jarum jam tanpa ampun terus bergerak. Tapi, Savana tak kunjung
terlihat. Milka gusar. Ia melirik jam dinding.
“Jam 11, sudah
siang, ke mana Savana? Apakah aku harus mencarinya? Mendatangi rumahnya?” pikir
Milka.
Gadis itu
berjalan bolak-balik, ia sangat tampak kebingungan. Kemudian ia berlari
menuruni tangga. Ia lupa bahwa sejak bangun tidur ia tidak melakukan apapun
selain menunggu di jendela. Gadis itu masih terperangkap pakaian tidur, tapi ia
tak ragu untuk melangkah dan mencari Savana di seberang sana.
“Ini, kah? Ini
tempatnya. Di mana dia….” Milka semakin gusar.
Sekarang, ia
berada tepat di depan pintu pagar rumah Savana. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Ia ingin masuk tapi ia membayangkan hal buruk. Orangtua Savana sangat tahu apa
yang terjadi dengan keluarganya. Ia takut tak diterima. Dan hal yang lebih
buruk, Savana tak lagi tinggal di sini. Tapi, untuk memastikannya Milka harus
masuk. Gadis itu mendaratkan telunjuknya pada bel yang ada di samping pintu
pagar. Sekali, dua kali, tiga kali, tak ada yang menjawab. Sekali lagi Milka
mencoba, masih sama, hening. Milka beranjak dari tempat itu dengan
keputusasaan.
“Maaf….”
Suara asing menerobos
telinga Milka. Gadis itu membalikkan badannya, dan matanya menangkap sesosok
wanita cantik.
“Saya…,” Milka
gemetar.
“Anda mencari
siapa?” tanya wanita cantik itu.
“Sa…. Sav….
Savana…, saya ingin bertemu Savana.”
“Oh, saat ini
Savana sedang tidak di rumah. Nanti malam dia kembali dari luar kota. Maaf,
Anda siapa?”
“Saya Milka,
temannya. Saya tinggal di seberang.”
“Owh, saya baru
melihat Anda. Silahkan masuk….”
“Tidak,
terimakasih. Tolong sampaikan pada Savana, saya ingin bertemu dengannya di
jendela.”
“Maaf, di mana?”
wanita itu memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
“Di jendela
Savana.”
Wanita cantik
itu mengernyitkan dahi. Menunjukan suatu keanehan dari ucapan Milka.
“Saya permisi.
Terimakasih.”
“Baik,” wanita
cantik itu menutup pintu masih dengan rasa penasaran.
***
Bulan tampak
keruh di balik awan mendung malam itu. Angin pun tak berdesir. Bau tanah
menyeruak, menandakan bahwa di bagian wilayah lainnya sudah diguyur hujan.
Milka gelisah, ia takut Savana datang telat karena hujan. Ia ingin sekali
melihat Savana malam ini. Harus malam ini.
Milka terus
berdoa semoga perjalanan Savana lancar, tanpa hujan atau dengan hujan. Milka
mulai mencium bau Savana, itu membuatnya semakin tak menentu. Ia merasakan
bahwa Savana tidak jauh darinya. Ia mematri matanya ke arah seberang. Sesekali
wanita itu menoleh ke jam dinding. Waktu menunjukan pukul 23.45 WIB, namun
Savana tak kunjung terlihat.
“Mungkinkah Savana
terlalu lelah sehingga sesampainya di rumah ia langsung terlelap? Atau, ia
belum sampai di rumah? Bisa jadi ia ingin memberi kejutan padaku esok hari.
Atau, ia sudah lupa denganku. Tidak. Tidak mungkin. Ia menyayangiku, ia tak
mungkin lupa,” pikir Milka.
Gadis itu mulai
kelelahan menunggu. Memang, hal paling melelahkan dalam hidup ini adalah
menunggu. Jika yang ditunggu tak kunjung tiba, rasanya segala waktu dan tenaga
yang telah dicurahkan menjadi sia-sia. Dan, kelelahan semakin terasa ketika ada
perasaan sia-sia yang meraja. Milka tertidur.
***
Kendaraan
berlalu lalang, membangunkan Milka dari tidurnya. Di sini, di Jakarta, suara
ayam berkokok digantikan degan suara “kuda-kuda besi”. Milka segera melirik jam
dinding, jam 08.00 WIB.
“Aku
kesiangan!!!” Teriak Milka sambil berlari menuju jendela. Dan, tak ia temukan
apapun di sana.
“Aku harus ke
rumahnya. Harus. Harus ke rumahnya…!”
Milka menuruni
anak tangga dengan gesit. Ia tak takut terjatuh, yang ia takutkan hanya
kegagalan bertemu Savana hari ini, sekalipun ia belum membuat janji dengan pria
itu. Dengan mantap ia menekan bel. Sekali, dua kali, tiga kali, pintu terbuka.
“Cari siapa ya?”
“Sa…. Sa….
Savanna?”
“Iya, itu saya.
Maaf, Anda siapa?”
“Aaa…. Aku….
Aku…. Kau lupa aku? Aku Milka!” jawab gadis itu dengan semangat.
“Milka? Milka?”
Savana bingung, setengah tidak percaya.
“Jendela….
Jendela. Jendela Savana…. Kau ingat?” tegas Milka, ia tidak percaya Savana
melupakannya.
“Ya, aku ingat! Milka, ke mana saja kau selama
ini?”
“Savana, bisakah
kita bertemu di taman nanti sore?”
“Hmmm…, sudah
tidak ada taman di sini. Taman kita sudah dijadikan pemukiman penduduk,” ujar
Savana sedikit kecewa.
“Harusnya hal
itu kupikirkan. Waktu berjalan, tak mungkin tak ada perubahan.”
“Masuklah, kita
mengobrol di dalam saja.”
“Tidak,
penampilanku seperti ini. Aku masih menggunakan pakaian tidur, dan aku belum
mandi,” Milka tertunduk malu.
“Baiklah, ini
kartu namaku. Hubungi aku nanti.”
“Terimakasih.
Aku rindu padamu, Savana.”
“Aku juga.”
Milka
meninggalkan rumah Savana dengan senyum sumringah. Ia merasa hidup kembali. Gadis
itu berlari menuju rumahnya, segera mengambil ponsel dan mengirim pesan untuk Savana.
***
Di sebuah taman
yang jauh dari rumah….
Sepasang orang
muda duduk berdua di taman. Mereka duduk berjauhan, seperti orang yang baru
kenal.
“Ke mana saja
kau selama ini?” tanya Savana mencoba mencairkan keadaan.
“Aku dibawa
ayahku ke Jawa Timur.”
“Mengapa baru
kembali?”
“Aku suka di
sana, di Semeru. Aku dapat menikmati savana kapanpun aku mau. Dan itu
mengingatkanku padamu. Aku sangat merindukanmu,”
“Aku menunggumu
bertahun-tahun,” tanya Savana dengan getir.
“Maaf…,” gadis
kurus itu merasa bersalah.
“Sekarang untuk
apa kau kembali?”
“Untukmu. Aku
masih mencintaimu.”
“Jangan. Jangan
katakan itu. Aku sudah menikah.”
“Kau pasti
bercanda. Ini pasti lelucon. Kau masih suka bercanda seperti dulu, kan? Iya,
kan?” Milka mulai gemetar.
Bayangan wanita
cantik itu muncul. “Mungkin, kah? Wanita itu isterinya?” batin Milka.
“Itu benar.”
“Bagaimana
dengan kita? Dengan jendela? Jendela Savana?”
Savana tak
bergeming. Milka menangis.
***
Tak terasa sudah
seminggu Milka di Jakarta. Dan, sejak pertemuannya dengan Savana, Milka hanya
melamun di jendela. Ayahnya yang datang menjemputnya khawatir melihat kondisi
anaknya. Dengan penuh inisiatif, ia memapah putrinya menuju mobil. Milka tak
bergeming ketika mobil yang dinaikinya berjalan meninggalkan Jakarta. Selama
dalam perjalanan ayahnya terus berpikir apa yang menyebabkan putrinya seperti
ini. Sampai akhirnya ia menyimpulkan, Milka menjadi seperti ini karena ibunya.
Ia yakin ketika di rumah itu Milka selalu teringat tentang wanita itu, sehingga
membuat Milka sakit. Bener-benar sakit.
“Aku sakit,
Ayah. Ayah pun sakit. Sakit karena Ibu. Dan aku sakit karena Savana. Kembalikan
jendelaku, Ayah…. Karena hanya dari sana aku dapat melihatnya, merasa memiliki
Savana,” ucap Milka setengah tidak sadar.
“Sayang, Ayah
tidak sakit.”
Airmata mengalir
dari pria egois itu. Ia masih menyangkal bahwa ia masih sakit, sakit karena ibu
Milka. Ia hanya berusaha tetap berada di posisi aman, tanpa memedulikan
anaknya. Ia menutupi kesakitan, bukan menyembuhkannya, sehingga kesakitan itu
turut menjangkiti Milka.
*selesai*