Kehormatan

Mei 27, 2015



 
Apa yang tidak terlihat mata, tak akan pernah ditangisi oleh hati....


Si anjing liar dengan keberanian dan kekuatannya, si rusa betina dengan kelembutan, intuisi, dan keanggunannya. Pemburu dan buruan bertemu dan saling jatuh cinta. Sesuai hukum-hukum alam, yang satu seharusnya menghancurkan yang lain, tapi dalam cinta tidak ada baik atau buruk, tidak ada pembuatan atau penghancuran, yang ada haanyalah gerakan. Dan cinta mengubah hukum-hukum alam.

Di padang-padang tempatku dilahirkan, anjing liar dilihat sebagai makhluk feminin. Sensitif, pandai berburu karena telah mengasah nalurinya, tapi juga hati-hati. Dia tidak menggunakan kekuatan semata-mata, tapi juga strategi. Berani, hati-hati, cepat. Dia bisa berubah dalam sedetik dari keadaan santai ke keadaan siap menerkam mangsa.

Sedangkan rusa betina memiliki atribut lelaki dalam hal kecepatan dan pengenalan bumi. Mereka berdua berjalan bersama di dunia simbolis mereka, dua makhluk berbeda yang telah saling menemukan, dan kerena mereka telah mengatasi sifat-sifat alami mereka dan penghalang-penghalang mereka, mereka membuatnya menjadi mungkin. Dari dua naluri yang berbeda lahirlah cinta. Dalam kontradiksi, cinta semakin kuat. Dalam konfrontasi dan transformasi, cinta bisa bertahan.

***

“Haruskah selalu kuceritakan mitos Mongolia itu, biar kau tak meremehkan aku, biar kalian tau bagaimana cinta tanpa harus ‘memperbudak’ atas nama agama?!”
 
“Dengan menanyakan hal itu padaku, tidakkah kau berpikir bahwa kau tidak mengerti apa yang kau ceritakan?!”

“Kau tak akan pernah mengerti cara berpikir rusa yang punya sifat keanjingan! Karena isi otakmu hanya sebatas apa yang kau lihat!”

“Kau terlalu banyak menelan novel-novel itu, yang isinya hanya kegaulan penulisnya yang tak pernah tuntas. Persetan dengan rusa yang keanjing-anjingan dan anjing yang kerusa-rusaan, omong kosong!”

“Toh nyatanya, ada ibu yang memiliki sifat kebapakan, dan sebaliknya. Yang membuatku miris, lelaki dihadapanku, ya aku masih menyebutmu lelaki, sama sekali tak punya sifat kebapakan, apalagi keibuan!”

“Setidaknya itu nyata, bukan picisan!”

“Jelas nyata. Binatang pun masih memiliki sifat-sifat manusia. Kau? Sampah!”

“Isteri macam apa yang menyebut suaminya sampah?! Kau isteri durhaka! Kucerai kau!”

“Atas nama agama kau mau menikah lagi, atas itu pula kau sebut aku durhaka dan menceraikan aku. Kau suami durhaka! Sampah! Bangkai anjing!”

Dan, ketika mereka memutuskan menikah atas nama cinta, namun mereka bercerai atas nama agama. Setelah perceraian itu, aku memilih menghindar dari kehidupan keduanya. Bapak telah menikah dengan kembang desa dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik seperti ibunya. Sedangkan ibu memilih untuk memfokuskan karier di LSM yang mempengaruhi pemikirannya sejak ia masih berkuliah.

Aku hidup dengan nenek dan kakek, mereka orangtua dari ibuku. Aku memilih tinggal bersama mereka karena tak ada pilihan yang lebih baik. Jika hidup bersama bapak, aku harus mengikuti ajaran agama versinya, aku tak mau didoktin untuk melegalkan poligami (walaupun sebenarnya sudah legal secara agama), dan ajaran-ajaran lainnya yang membuat leherku seperti dirantai.

Jika tinggal bersama ibu, aku pasti diharuskan menceplungkan diri di LSM-nya, membaca buku-buku yang bukan seleraku, menggaung-gaungkan kesetaraan gender, menolak diskriminasi terhadap perempuan dan hal-hal politis yang tak kumengerti dan tak sempat kupikirkan. Yang sampai sekarang ada dipikiranku adalah bagaimana dua manusia dengan kehidupan yang bertolak belakang (bapak dan ibu) dapat bersatu? Cinta? Kalau saja benar karena itu, tak mungkin mereka berpisah dengan cara yang tragis.

Setelah setahun kelulusanku dari bangku SMA, kakek meninggal, sebulan kemudian disusul nenek. Mereka pergi setelah merasa tugasnya selesai. Benar sekali, sudah saatnya aku mandiri. Aku tak mau bergantung pada siapapun.

Aku memutuskan bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji. Sempat berpikir untuk melanjutkan pendidikan, namun melihat penghasilan yang tidak seberapa membuatku mengubur keinginan itu. Beberapa kali ibu menawarkan ingin membiayai pendidikanku, namun tawaran itu tidak secara cuma-cuma, ia mengharuskanku belajar ilmu politik. Aku menolak. Sedangkan bapak seolah tak peduli aku mau jadi apa. Itulah pesona perempuan kedua, membutakan lelaki yang tak buta.

Dalam kemandirian dan kesulitan hidup seperti ini membuatku semakin mengerti banyak hal. Tentang (yang disebut nenek dan kakek sebagai) cinta. Kakek dan nenek tidak mengenyam pendidikan dan tidak mendalami ilmu tertentu tapi mereka bahagia. Nenek mengatakan pernikahan dengan kakek adalah sebuah perjodohan. Mereka tak saling mengenal, apalagi cinta. Seiring berjalannya waktu cinta itu tumbuh karena keterbiasaan. Tak ada dominasi di antara mereka. Tak pernah ada kata “maaf” dan “terimakasih” terucap dari bibir mereka, karena cinta selalu mengerti. Saat kutanya apa arti cinta bagi mereka, wajah merona selalu menjawab, seolah kata itu masih menjadi tabu untuk ditanya. Tapi itu membuatku mengerti bahwa jika kita mencoba memahaminya, cinta akan meninggalkan kita dalam kebingungan. Ketika senyum bisa menebarkan cinta, untuk apa repot-repot meneorikan cinta.

***

Tentang (apa yang ibu sebut sebagai) kehormatan. Sejak SMA aku sudah melihat bagaimana teman-temanku merasa kehilangan kehormatan karena hamil sebelum menikah, dan teman-teman yang lain menghakimi tanpa sedikitpun rasa hormat. Lantas, aku mulai berpikir, apa itu kehormatan, kapan ia muncul dan untuk apa digunakan? Aku bertanya-tanya, tapi tak berusaha mencari, karena aku ingin ia datang dengan sendirinya.

Suatu hari aku berciuman dengan pacarku, kami melakukan itu saat baru sebulan berpacaran. Itu untuk kali pertama dan terakhir kami melakukannya, karena berita tindakan kami sampai ke telinga bapakku. Sesampainya di rumah tangan kanan bapak mendarat di pipiku.

“Dasar anak tidak tau malu, beraninya kau melakukan itu! Jangan pikir aku tidak tau kelakuanmu. Teman-temanmu menceritakan tindakanmu pada orangtuanya, dan orangtuanya mengadukan hal itu padaku! Kau tidak tau malu dan membuatku malu! Sebagai perempuan kau harusnya menjaga kehormatanmu!”

“Aku masih menjaganya, Pak!”

“Tidak, kau kehilangan kehormatanmu dan Bapak juga kehilangan itu. Bapak malu, Nak!”

“Jadi yang Bapak pikirkan kehormatanku atau kehormatan Bapak?”

Sekali lagi tamparan mendarat di pipiku. Entah kenapa tamparan itu membuatku semakin dingin menghadapinya. Bapak memang sering main tangan, kurasa ibu yang paling kenyang merasakan kasarnya tangan bapak. Setiap melihat ibu dipukuli olehnya aku hanya bisa menyembunyikan tubuhku di pojok kamar dan berusaha untuk mengatur napas, itu yang diajarkan oleh ibuku supaya aku tak menjadi sasaran amuk bapak.

“Bapak mengajarkan ilmu agama padamu supaya kau jadi anak yang beradab. Bapak ini pemuka agama, Nak! Kau mencoreng mukaku!”

“Intinya, bukan kehormatanku yang hilang, tapi kehormatan Bapak! Di mataku, kehormatanmu sudah hilang. Setiap kau pukul Ibu semakin luntur kehormatanmu, baik sebagai suami, bapak atau yang kau sebut sebagai pemuka agama!”

“Anak durhaka! Otakmu pasti sudah diracuni Ibumu!”

Sebelum tangan bapak menyentuh pipiku lagi, Ibu datang dan membelaku. Awalnya ini adalah permasalahanku dengan bapak, kini menjadi masalah bapak dan ibu. Bapak menyebut ibu gagal mendidiku, ibu mengatakan bapak yang tidak becus memberi contoh pada anak. Mereka saling menyalahkan. Sementara itu aku merenung.

Ketika dua orang yang sedang mabuk cinta, mereka merealisasikannya melalui tindakan, kemudian jika tindakan tersebut berakibat buruk, mereka merasa kehilangan kehormatan. Tapi jika tidak berdampak yang merugikan, mereka menganggap itu surga cinta. Pun dengan orang-orang yang membicarakan hilangnya kehormatan seseorang, mereka mendahului kuasa Tuhan, bahkan menjadi Tuhan. Tidakkah tak satupun dari kita pernah memiliki kehormatan?

Beberapa tahun setelah kejadian itu, aku bertemu dengan seorang pria yang mengenalkan kehormatan padaku. Dia memberikan sebuah novel karya Paulo Coelho, The Zahir. Buku itu menjembatani pertemukanku dengan kehormatan, seperti pencarian seorang suami untuk menemukan isterinya yang hilang, takdirlah yang menjadi jembatan di antara keduanya, seperti yang dikisahkan dalam The Zahir.

Pria yang memberiku buku semakin membuatku yakin apa itu kehormatan, adalah kebebasan untuk memilih apa yang kita inginkan, lalu mencurahkan seluruh jiwa dan raga untuk keputusan itu. Jadi, jika kita menyesalinya itu karena kita tidak mengabdikan jiwa dan raga sepenuhnya, demikianlah yang membuat kehormatan kita tercabik-cabik. Walau pada akhirnya aku kehilangan pria itu, dan harus mengalah pada takdir, aku tak pernah menyesalinya, karena tak ada hal yang patut disesali. Cinta, kekuatan yang tak akan pernah ditundukkan. Jika kita berusaha mengendalikannya, cinta akan menghancurkan kita. Kalau kita berusaha mengurungnya, cinta akan memperbudak kita. Maka kubebaskan ia....

***

Tentang (apa yang bapak katakan sebagai) tunduk. Tak mungkin tak ada pencipta jika ada pengrusak, namun hanya kepada penciptalah kita harus tunduk, padahal setiap diri kita memiliki jiwa pengrusak. Bagaimana mungkin mudah bagi pengrusak untuk tunduk pada pencipta hanya karena apa yang telah ia ciptakan. Jika ia ingin kita tunduk, kenapa ia menciptakan kita dengan jiwa pengrusak.

Seperti bapak yang mengaharuskanku untuk patuh padanya, tanpa boleh menimbang-nimbang apa yang ia putuskan untuk keluarga kami. Aku merasa tak diberi ruang untuk memanfaatkan akalku. Jika harus seperti itu, untuk apa ia menyekolahkanku, memintaku untuk selalu berpikir dalam segala tindakan. Tidak hanya padaku, tapi juga pada ibuku. Menurut bapak, kami sebagai perempuan harus tunduk pada laki-laki. Ya, tunduk. Seperti apa? Seperti ketika bapak mengatakan pada ibu ingin menikah lagi, ibu tak boleh menolak untuk dipoligami, namun dari sekian banyak perlakuan buruk bapak hanya itu yang tak bisa ibu terima, setelah pertengkaran panjang akhirnya bapak menceraikan ibu dengan alasan isterinya tidak mampu memenuhi kewajiban, termasuk kewajiban untuk menerima dipoligami.

Aku berharap ibu bisa membangkang sejak dulu, karena aku tak tahan melihat perlakuan bapak padanya. Pernah suatu hari aku melihat bapak memukul ibu hanya karena ibu menolak membuatkan makan malam untuk bapak. Ibu menolak bukan tanpa alasan, saat itu ibu sedang sakit. Kemudian saat bapak keluar untuk membeli makanan, aku menemui ibu di kamar. Berusaha menenangkan dan memprotesnya karena tak mau melawan bapak.

“Nak, Ibu selalu punya alasan atas apa yang Ibu putuskan. Saat Ibu memutuskan untuk tidak melawan bukan karena Ibu takut. Ibu mempertimbangkan kondisimu, Ibu tak mau kau menjadi korban. Kau masih terlalu kecil, belum banyak mengerti tentang permasalahan orang dewasa, Nak. Jika Ibu melawan, apa bedanya Ibu dengan Bapakmu. Bapak memperlakukan Ibu seperti ini karena tidak peduli bagaimana perasaan Ibu, hanya mementingkan ego. Jika Ibu melawannya, itu artinya Ibu tak peduli denganmu.”

“Aku tidak mengerti, Bu.”

“Kelak, kau akan paham.”

Setelah mereka berpisah, aku baru paham. Ibu berusaha melampaui batas ketahanan dirinya sampai aku dewasa dan bisa menerima realita perkawinan mereka. Kurasa, bapak memutuskan untuk menikah lagi juga di waktu yang tepat, ketika aku sudah bisa menerimanya sebagai lelaki dan (bukan) sebagai seorang bapak.

Pelajaran berharga untukku, bahwa kadang kala kita harus tunduk sampai kondisi memungkinkan kita untuk membangkang, atau jika kita tidak kuat melampaui batas ketahanan diri, maka kita sendiri yang harus menciptakan kondisi itu. Di saat seperti itulah kita tak akan pernah menyesali keputusan yang telah kita pilih.

***
Tentang cinta, kehormatan dan tunduk, mungkin ketiganya tidak memiliki keterkaitan, mungkin juga saling terkait, tergantung bagaimana kita melihatnya. Dari sudut pandangku ketiganya saling terkait. Seseorang bisa jatuh cinta dengan yang lainnya, melalui kehormatan cinta itu dapat dibangun dan dipertahankan. Namun ketika salah satu pihak ingin membuat tunduk pihak lainnya, maka cinta yang dibangun dapat hancur seketika.

Seperti cintaku kepada si pemberi buku, yang dibangun dan dipertahankan meski kami tak (akan) lagi bertemu, dan aku tak peduli apakah ia memiliki perasaan yang sama atau tidak. Aku tak pernah melihat perwujudan cinta dalam tindakannya, maka aku tak pernah merasa terluka karenanya, karena apa yang tidak terlihat mata tak akan pernah ditangisi oleh hati.

Orang lain berpikir kisahku sangat tragis. Orangtua bercerai, pria yang kucintai pergi dan tak memiliki tempat bergantung. Yang paling menyedihkan bagi mereka adalah kesendirianku.

“Pikiran yang sangat drama,” ucapku menanggapi ibu kos yang mengutarakan keprihatinannya.

“Ini lebih drama dari drama-drama Korea yang pernah kutonton, Nak. Sejak kecil kau sudah bersentuhan dengan masalah-masalah orang dewasa. Itulah yang membuat hidupmu kini penuh kesendirian.”

“Bu, tak seorang pun sendirian dalam masalah-masalah mereka. Selalu ada orang yang berpikir, bergembira atau menderita sepertiku, bahkan lebih, dan jujur saja itu memberiku kekuatan untuk menghadapi setiap masalah.”

“Tidakkah kau menderita?”

“Bagian terbaik dari penderitaan adalah ketika aku bisa menerimanya sebagai kenyataan. Karena penderitaan tak akan lenyap walau aku berusaha menyangkalnya. Bu, suatu kehormatan bagiku dapat menerima penderitaan yang Tuhan hadiahkan, dan kehormatan pula bagi Tuhan jika aku tidak menyangkalnya.”

“Kehidupan membuatmu dewasa sebelum waktunya, Nak.”

“Setiap masalah mengajarkanku sesuatu, setiap orang yang kutemui menambah energiku, setiap buku yang kubaca mengisi jiwaku dan setiap kisah yang kuceritakan mengosongkan pikiranku. Apakah aku dewasa? Jika kau mau menyelami hidupku, kau akan mengetahuinya.”

****
 
Design by Pocket