Statement of Purpose

Maret 20, 2015



Bertulang Besi Berkulit Kayu:
Eksistensi Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur


Trisna Ari Ayumika


Garis Besar Tulisan

Tulisan ini menguak eksistensi becak pasca diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, sehingga mengantarkan becak ke daerah pinggiran seperti Pasar Cakung Jakarta Timur, dan menjadikan becak sebagai transportasi yang termarjinalkan. Tujuan tulisan ini dituangkan dalam beberapa hal. Pertama, menjelaskan bahwa becak merupakan salah satu transportasi publik di Jakarta. Kedua, menceritakan eksistensi becak di Jakarta, khususnya di Pasar Cakung Jakarta Timur. Ketiga, menguak hal yang melatarbelakangi pelarangan pengoperasian becak di Jakarta.

Untuk menggali dan memperdalam tujuan penulisan tersebut, tulisan ini akan dilengkapi dengan beberapa data pendukung, di antaranya: (1) Konteks historis keberadaan becak baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di Jakarta. (2) Data-data yang merupakan sumber primer didapatkan melalui wawancara dan kajian pustaka. Metode ini diharapkan dapat menggali kedalaman dan kekayaan informasi, sehingga informasi tersebut dapat mempertajam analisa tulisan ini.

Perspektif yang Digunakan

Perspektif yang digunakan dalam tulisan ini adalah kajian tentang kota yang membentuk proletar terasing. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain. Uang adalah tanda keterasingan manusia. Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan, dan pekerjaan itu bisa menggembirakan juga membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasil yang mereka dapatkan, tetapi pada kenyataanya pekerjaan bagi manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaan tidak pernah dirasakannya.

Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena mereka terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Persaingan dan perjuangan untuk mendapatkan tempat tempat kerja menimbulkan keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, yang akhirnya terhadap sesama justru akan menjadi lawan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari lingkungannya. 

Perbaikan kelas-kelas tertindas tidak dapat dicapai melalui kompromi. Perbaikan tidak dapat diharapkan pula dari perubahan sikap kelas-kelas atas -termasuk pemilik kekuasaan-. Bagi Karl Marx, hanya ada satu jalan saja yang paling terbuka yaitu perjuangan kelas. “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas,” demikian Karl Marx menegaskan dalam bukunya Manifesto Komunis. Sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan antara kelas-kelas. Karl Marx menolak pendapat bahwa individu dengan kehendak individualnya dapat menentukan arah sejarah. Individu hanya melakukan apa yang merupakan kepentingan kelas mereka masing-masing. Perjuangan akan sungguh-sungguh apabila bersifat subyektif, yaitu apabila kelas-kelas yang tertindas menyadari keadaan mereka, menentangnya dan berusaha untuk mematahkan dominasi kelas-kelas yang berkuasa. Berkiblat pada teori tersebut, marjinalisasi becak di kota akan menunjukan betapa mirisnya keterasingan becak di daerah pinggiran kota Jakarta karena kuatnya dominasi kelas tertentu.
 
Sistematika Tulisan

Secara garis besar tulisan ini akan menyajikan beberapa bagian, yaitu: (1) Pengantar. Di dalamnya menjelaskan eksistensi becak di kota Jakarta. Selain itu, pada bagian ini akan dijelaskan ketertarikan dalam pengkajian tema, serta mengemukakan tujuan dari penulisan. (2) Becak dan Transportasi Publik. Bagian ini berisi analisa dan pembahasan. Di dalamnya akan menjelaskan tentang dinamika transportasi publik di Jakarta. Menguak Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang antara lain melarang beroperasinya becak di Ibu Kota. Data-data yang diperoleh akan dicantumkan pada bagian ini. (3) Marjinalisasi Becak di Jakarta. Tidak berbeda dengan bagian sebelumnya, bagian ini merupakan analisa dan pembahasan tulisan. Menjadi penting untuk mengungkapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang antara lain melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, karena peraturan ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat kelas bawah. Selain itu, peraturan ini juga mempengaruhi perkembangan becak yang beralih ke daerah-daerah pinggiran perkotaan. (4) Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur. Lebih mendalam lagi, pada bagian ini akan menceritakan eksistensi becak di Pasar Cakung, Jakarta Timur. (5) Eksisitensi Becak dan Perjuangan Kelas. Melengkapi tulisan ini, maka pada bagian terakhir sebelum penutup, akan diungkapkan kilas balik perjuangan becak sebagai bentuk perjuangan kelas supaya tetap mendapatkan tempat di Jakarta. Untuk lebih mempertajam analisa dan pembahasan, pada bagian ini akan disertai dengan perspektif Karl Marx tentang keterasingan dan perjuangan kelas sebagai bagian dari pencapaian tujuan kaum proletar. (6) Penutup. Bagian terakhir ini berupa beberapa catatan penting dari elaborasi yang dilakukan sebelumnya dalam tulisan ini. Bagian ini juga akan memaparkan sikap penulis terhadap fenomena yang dibahas dalam penulisan ini.

Bahan Bacaan


1. Paule Johnson Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1. Jakarta : PT Gramedia.

2. Paule Johnson Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2. Jakarta : PT Gramedia.
3. Karl Marx. 1992. Kapital 2. Jakarta: Hasta Mitra.
4. Karl Marx. 1981. Kapital 3. Jakarta: Hasta Mitra.
 



 
Design by Pocket