DARI PASAR TRADISIONAL HINGGA PASAR SWALAYAN: Perubahan Perilaku Konsumtif Masyarakat (Studi Kasus Jalan Raya Penggilingan, Jakarta Timur)

Januari 23, 2013



ABSTRAK

Ilmu pengetahuan dan teknologi menciptakan segala sesuatu menjadi lebih praktis (efisien dan efektif). Masyarakat dituntut untuk mengikuti perkembangan yang lebih mengarah pada modernisasi ini. Hal tersebut diperluas dengan melihat perubahan mengenai bagaimana manusia menjalankan hidupnya. Segala aspek dapat mempengaruhi pola perubahan, termasuk pada pola perilaku konsumtif. Masyarakat memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan sesuai tuntutan waktu. Untuk memenuhi hasrat konsumtif masyarakat, industri memiliki berbagai inovasi. Munculnya inovasi tersebut merupakan sisi positif bagi perekembangan zaman. Namun di sisi lain, perkembangan zaman yang modern membawa dampak negatif bagi masyarakat.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai perubahan perilaku konsumtif masyarakat yang tinggal di sekitar Jalan Raya Penggilingan Jakarta Timur sebagai akibat dari modernisasi. Semoga tulisan ini dapat memberikan cerminan perubahan sosial yang ada di masyarakat.

PENGANTAR

Modernisasi telah menjadikan Indonesia Negara yang konsumtif. hal ini terbukti dengan menjamurnya pasar-pasar swalayan asing yang berbentuk waralaba. Pasar swalayan tersebut dapat dijumpai hampir di setiap kecamatan. Indomart, Alfamart, dan Mini Market, adalah beberapa bentuk pasar swalayan yang keberadaannya menyingkirkan pasar-pasar tradisional. Berbeda dengan pasar swalayan yang mampu melebarkan sayapnya, pasar tradisional justru dianaktirikan. Padahal, pasar tradisional adalah milik bangsa ini, bukan milik orang asing. Tapi yang terjadi, masyarakat enggan untuk mengunjungi pasar ini lagi semenjak mewabahnya pasar swalayan. Bahkan, banyak pasar tradisional yang digusur. Ini jelas membuktikan, betapa tersingkirkannya pasar tradisional.

Kekhawatiran akan kelangsungan pasar tradisional pun muncul seiring dengan kehadiran pasar swalayan yang berkembang dengan pesat. Proses berkembangnya pasar swalayan ini dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan penduduk, serta perubahan sosial budaya. Faktor-faktor ini mempengaruhi kualitas dan kuantitas dalam pardagangan. Keberdaan pasar swalayan yang dikaitkan dengan keberadaan pasar tradisional membuka persaingan antara keduanya. Namun, apakah pasar swalayan telah mampu menggantikan pasar tradisional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus dilakukan penelitian dengan mengamatai perilaku berbelanja masyarakat di pasar swalayan dan pasar tradisional. Studi penelitian ini berlokasi di Jalan Raya Penggilingan, Jakarta Timur. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena lokasi ini strategis. Terdapat enam unit swalayan dengan berbagai nama dan satu pasar tradisional.

Masyarakat yang tinggal di wilayah Jalan Raya Penggilingan, Jakarta Timur terdiri dari masyarakat yang beragam, mereka berasal dari berbagai etnis, agama, dan status sosial yang berbeda. Keberagaman ini dikarenakan banyaknya pendatang yang tinggal di wilayah ini. Masyarakat yang beragam sudah pasti memiliki kebutuhan yang beragam pula. Swalayan muncul sebagai jawaban ketika pasar tradisional tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang lebih beragam. Keberadaan swalayan tidak hanya menjawab persoalan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat, namun swalayan justru menjadikan masyarakat lebih konsumtif.

PERUBAHAN KEBUTUHAN DAN PERILAKU KONSUMTIF MASYARAKAT

Tahun 1970 wilayah Penggilingan masih sepi dari penduduk. Namun, setelah berdirinya beberapa pabrik, wilayah ini menjadi ramai. Banyak kaum pendatang yang menetap di wilayah ini untuk bekerja di pabrik-pabrik yang lokasinya memang tidak jauh dari wilayah ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk yang bermukim di wilayah penggilingan mengandalkan sebuah pasar yang sering disebut sebagai Pasar Simpang Tiga. Dinamakan demikian karena pasar tersebut berada di persimpangan jalan. Karena hanya ada satu pasar, maka perilaku berbelanja masyarakat pada saat itu jauh dari perilaku konsumtif.  Hal ini diamini oleh Dimin, pria tua yang sudah hampir sepuluh tahun berdagang di Pasar Simpang Tiga “Dulu, orang belanja alakadarnya, maksudnya yang dibutuhin aja, Neng. Beda ama orang sekarang. Kalo sekarang mah, orang belanja bukan untuk yang dia perluin, Cuma bakal ngabisin duit…!”

Keterbatasan akan sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat di wilayah ini dimanfaatkan oleh para pebisnis, banyak dari mereka yang melirik wilayah ini sebagai tempat membuka usaha. Tak mengherankan jika saat ini banyak tumbuh pertokoan atau usaha lainnya di sepanjang Jalan Raya Penggilingan.

Dibandingkan dulu, kini jumlah penduduk Penggilingan mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah ini juga mempengaruhi tingkat kebutuhan masyarakat. Perubahan penduduk Indonesia tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada kualitas dan kualitas penduduk yang saat ini nampak sangat berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang membuat teknologi semakin maju. Kemajuan di bidang teknologi memberikan dampak positif dan negatif.

Perubahan jumlah penduduk Penggilingan mempengaruhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Masyarakat menjadi terbiasa dengan segala sesuatu yang praktis, karena lebih efisien dan efektif. Masyarakat membutuhkan, maka produsen siap menyediakan. Dengan begitu, produsen berlomba-lomba melahirkan inovasi, salah satunya inovasi dalam cara penjualan dan cara penyaluran barang yang baru. Keduanya merefleksikan sebuah etika baru dalam melakukan konsumsi. Semua itu muncul dengan tujuan untuk mempertahankan budaya konsumtif dari masyarakat modern. Seperti pasar swalayan, secara keseluruhan para pemilik dan para pengelola terlihat menciptakan “istana konsumsi” yang akan memperdulikan dua hal, yaitu rasa dari kaum borjuis dan mendefinisikan rasa tersebut ke dalam proses.

Di sepanjang Jalan Raya Penggilingan terdapat enam unit swalayan dengan berbagai nama. berkembangnya pasar swalayan di wilayah ini seakan menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern pada masyarakat Penggilingan. Swalayan tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun di balik kesenangan tersebut ternyata menumbuhkan perubahan pola perilaku masyarakat penggilingan. Masyarakat menjadi konsumtif.

Pasar swalayan melakukan cara pendefinisian gaya mewah dalam kehidupan, mereka menciptakan kebutuhan baru dan mensugesti bagaimana kebutuhan-kebutuhan tersebut dipuaskan. Dengan sistem manajemen yang seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa pasar swalayan merupakan bagian dari industrialisasi yang meninabobokan masyarakat ke dalam perilaku konsumtif. Konsumsi menjadi sebuah cara dalam mengekspresikan lebih dari status yang diinginkan, ini juga mengekspresikan perilaku seseorang terhadap budaya dominan kaum borjuis. Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah kebawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.

“Saya biasanya kalo belanja udah dicatetin apa aja yang pengen dibeli, tapi kadang-kadang kalo lagi ada promo di swalayannya jadi nambah belanjanya. Waktu itu saya juga pernah dapet voucher belanja di sini, Mbak. Saya sih tau, itu akal-akalan swalayannya aja. Biar kita mau belanja banyak. Yang gak dibutuhin dibeli juga. Akhirnya sih kepake juga barang yang dibeli. Tapi kalo udah nyampe rumah nyesel aja gitu…! Herannya udah sering begitu, tetep aja diulangin. Udah kebiasaan kali, jadi suka belanja, Mbak…!” Demikianlah penuturan Asri yang sedang berbelanja di Indomart. Ibu dua anak itu menyadari bahwa promo-promo yang diberikan di swalayan merupakan salah satu cara untuk menarik pelanggan. Namun, dirinya seakan dimanjakan dengan promo-promo tersebut, sehingga menjadi terbiasa.

Kasus di atas adalah salah satu bukti bahwa, keberadaan swalayan meningkatkan perilaku konsumtif masyarakat. Bagi mayarakat, perilaku konsumtif adalah penyakit yang harus dimusnahkan. Penyakit ini bernama “inpulse buying”. Walaupun masyarakat mengetahui dampaknya, namun mereka tidak kuasa untuk melawannya. Penyakit ini adalah musuh utama bagi para penentang perilaku konsumtif. lain halnya dengan para paritel atau pengusaha toko swalayan yang sengaja memelihara dan mengembangbiakan penyakit tersebut. Bahkan rencananya, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) akan membuka 400-500 gerai baru di tahun ini.[1]

PERSAINGAN PASAR SWALAYAN DAN PASAR TRADISIONAL

Jika dilihat dari segi managemen dan penggunaan teknologi, memang pasar swalayan lebih unggul jika dibandingan dengan pasar tradisional. Namun, dari segi aura natural pasar tradisional lebih unggul. Sebagai contoh, pasar tradisional menyajikan sayuran dan daging yang segar, tidak ada pengawetan seperti yang dilakukan pada pasar swalayan.

Pasar swalayan adalah tempat berbelanja barang kelontong dan bahan pokok yang tahan lama, sedangkan pasar tradisional adalah temapt untuk berbelanja bahan pokok yang tidak tahan lama. Hal ini ditegaskan oleh Yati, seorang pengunjung Alfamart. “Kalo biasanya orang-orang belanja di pasar buat beli sayuran, bumbu dapur, lauk. Terus kalo belanja di sini (Alfamart) untuk beli barang- barang kelontongan, ama beli bahan makanan yang agak tahan lama gitu, kaya gula, susu, teh, kopi, cemilan, detergen, banyak sih...!”

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dominasi pasar tradisional dalam perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari berkurang, seiring dengan keberadaan pasar swalayan. Meskipun pasar swalayan lebih unggul jika dilihat dari segi teknologi dan managemen, namun pasar swlayan belum mampu sepenuhnya untuk menggantikan pasar tradisional. Nampaknya harus dilakukan pemberdayaan pasar tradisional agar tidak kalah dalam persaingan dengan pasar swalayan. Pasar tradisional harus memiliki badan pengelola managemen. Jika perkembangbiakan pasar swalayan dibiarkan, tanpa adanya perbaikan pola managemen pasar tradisional, maka pasar tradisional akan kehilangan konsumennya. Seperti yang terjadi pada Pasar Simpang Tiga. Fenomena ini menunjukan bahwa, minat berbelanja masyarakat Penggilingan terhadap pasar tradisional sudah mulai turun. Berbeda dengan yang terjadi di pasar swalayan, yang mengalami situasi sebaliknya. Pasar swalayan lebih ramai didatangi pengunjung.

Pola pemenuhan kebutuhan konsumen atas barang dagangan yang ditampilkan mulai berubah, hal tersebut dikarenakan masyarakat lebih mengutamakan situasi dan kondisi tempat berbelanja kebutuhan yang akan dibeli. Pasar swalayan yang begitu menarik dan kreatif dalam pola pemasaran barang-barangnya, menjadikan pasar swalayan tempat yang dituju, walaupun tidak semua komoditi tersedia. Hal ini memperlihatkan adanya gengsi yang akan didapat jika berbelanja di pasar swalayan. Berlawanan dengan pasar tradisional yang identik dengan kesederhanaan, namun dari segi kwalitas barang jauh lebih baik.

“Kalo kata saya sih lebih enak belanja di swalayan, Mbak. Soalnya tempatnya enak, bersih, gak ribet kaya di pasar (pasar tradisional). Kadang kalo lagi ujan di pasar becek, tapi kalo belanja di sini (Indomart) kan gak becek. Udah gitu, kita bisa milih sendiri barang yang pengen dibeli, gak ribet nyarinya. Tapi enaknya di pasar, kita bisa nawar, Mbak.” Tukas Hesti, pengunjung Indomart.

Pasar swalayan merupakan pasar moden. Sedangakan pasar tradisional merupakan pasar rakyat. Namun, pasar tradisional memiliki pola interaksi yang lebih baik, karena terjadinya proses tawar menawar harga antara penjual dan pembeli. Dibandingkan pasar tradisional, pasar swalayan tidak menunjukan adanya pola interaksi yang menonjol.

KESIMPULAN

Di Indonesia, ritel modern seperti swalayan, memang memberikan manfaat, namun keberadaannya ritel modern mematikan toko-toko tradisional. Selain itu, ritel modern juga tidak memiliki kontrribusi pada perkembangan UKM, bahkan justru mematikan. Hal tersebut terkait dengan trend pergeseran kebiasaan konsumen. Dari data Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APSI) menyebutkan bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional tutup setiap tahunya. Tampaknya, pemerintah harus membuat landasan dalam pengelolaan system ritel modern, agar tidak memusnahkan eksistensi toko-toko tradisional.

Persoalan di atas, menunjukan kurangnya peran pemerintah dalm pengaturan dan pengelolaan ritel di Indonesia. Meskipun sudah ada peraturan dan kebijakan yang terkait dengan dengan ritel, seperti SKB Menperindag dan Mendragi No. 145/MPP/Kep.5/1997 tentang penataan dan pembinaan pasar dan pertokoan, kepmenperindag No. 261/MPP/Kep. 10/1997 yang menjadi rujukan teknis penataan dan pembinaan  pasar dan pertokoan, namun tetap saja tidak memberikan sinyal positif bagi terciptanya keseimbangan antara ritel modern dan ritel tradisional.

KEPUSTAKAAN

Damsar. Sosiologi Ekonomi. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tabozzi, Frank,J. Pasar dan Lembaga Keuangan. 1999. Jakarta: Salemba Empat.
Winardi. Kapitalisme Versus Sosialisme:suatu Analisa Ekonomi Teoritis. 1986. Bandung: Remadja Karya.





[1] Keterangan ini diambil dari Mesin Kasir online web blog.
 
Design by Pocket