Akses Ruang Kota: Penguasaan Lahan Kota, Etnisitas dan Ruang

Desember 14, 2012




Kepemilikan dan penguasaan lahan kota tidak jauh kaitannya dengan urbanisasi. Hak penggunaan lahan adalah hak yang melekat pada seseorang, baik secara kewarganegaraan atau  keanggotaannya dalam suatu silsilah keluarga. Setelah berkembangnya merkantilisme dan kapitalisme, lahan-lahan mulai dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dipertukarkan di pasar. Kapemilikan lahan merupakan dasar berkembangnya posisi dominan hak milik pribadi dalam kapitalisme modern. Tetapi yang menjadi pusat perkembangannya adalah kota. Jadi, ada hubungan yang intrinsik antara urbanisasi dan perkembangan konsep hak milik pribadi.

Awal terjadinya penguasaan lahan kota ditandai dengan adanya proses urbanisasi. Urbanisasi ini terjadi sebagai akibat dari perampasan lahan pedesaan secara terus menerus tanpa memperhatikan garis batas kota. Kepadatan penduduk di kota karena urbanisasi mengakibatkan sering terjadinya pemisahan kaum dan diiringi dengan pembagian lahan. Kemudian para perantau (kaum urban) kesulitan untuk membeli tanah karena faktor ekonomi, selain itu adanya larangan menjual tanah kepada kaum pendatang.



Para pakar ekologi kota membedakan proses urbanisasi atas dua aspek utama, yaitu aspek ekspansi dan aspek agregasi. Ekspansi mengacu terutama pada pertumbuhan spatial wilayah perkotaan sedangkan agregasi mengacu pada peningkatan konsentrasi penduduk di perkotaan.

Pengalihan lahan desa menjadi lahan kota mengakibatkan terpecahnya kepemilikan lahan, dan apabila itu sudah terlaksana maka pola pemecahan kepemilikan lahan di kota tidak berubah-ubah lagi. Pemecahan lahan biasanya terjadi sebelum pengembangan kota dilaksanakan, kendati kadang-kadang keduanya terjadi bersamaan.

Di kebanyakan negara berkembang, urbanisasi terjadi bukan disebabkan oleh industrialisasi, sementara laju urbanisasinya melebihi kapasitas struktur ekonomi dan sosial kota. Sektor industri yang lamban dan pertumbuhan dikuasai oleh modal asing, maka investasi pada tanah menjadi salah satu cara utama untuk meraih sukses ekonomi.

Institusional spekulasi tanah mengurangi kemampuan migran kota dalam membeli tanah untuk tempat tinggal di daerah pinggiran kota, karena daerah ini cenderung lebih sebagai objek spekulasi tanah ketimbang untuk perluasan dan pembangunan kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya kesesakan di pusat kota dan terbentuknya daerah-daerah kumuh kelas buruh. Spekulasi tanah dan meningkatnya harga tanah bisa jadi berakibat pada semakin banyaknya daerah pemukiman liar dan pembangunan dengan lompatan jauh.

Spekulasi tanah dan perubahan kepemilikan lahan kota dan lahan desa akhirnya telah mengakibatkan terjadinya redistribusi penduduk kota, padatnya penduduk di suburb-suburb dalam kota, berbaurnya kelompok-kelompok etnis, terjadinya konflik antara penghuni liar dan pemilik tanah di kota, dan meletusnya kerusuhan rusial.

Urbanisasi dan pertumbuhan jumlah elite kota dapat meningkatkan praktik pertuantanahan atau mengakibatkan semakin banyaknya orang yang tidak memiliki tanah.

Sebagian besar lahan kota justru digunakan untuk ruang hidup bagi reproduksi penduduk kota. Kenaikan harga tanah semakin memperkuat dominasi kelas pemilik lahan kota yang menguasai saham kapital kota dalam porsi yang sangat besar dan tumbuh terus berupa tanah dan bangunan. Konsentrasi kepemilikan lahan memang sangat tinggi.

Data tentang spekulasi tanah tampaknya menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan makin meningkatnya diferensiasi pendapatan berkaitan dengan tanah, akibatnya semakin banyak lahan terkonsentrasi di tangan golongan kelas atas kota.

Kontrol administratif dan politis atas “sarana reproduksi” melalui pembentukan unit-unit administratif pemerintahan yang sangat kecil dan pembentukan kelompok-kelompok pengawas, yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang menduduki lahan secara liar, mestinya dipandang sebagai sesuatu yang komplementer dalam proses pertumbuhan dan pemiskinan kota.

Konsentrasi pemilikan lahan cenderung mengakibatkan kesesakan dan kepadatan penduduk di sejumlah daerah kota, sementara di sejumlah daerah lain lahannya praktis menganggur karena dijadikan objek spekulasi.

Bentuk “pembangunan” khas yang dilaksanakan di pusat-pusat kota Dunia Ketiga mengakibatkan terjadinya spekulasi tanah, semakin kayanya kelompok elite pemilik lahan kota, semakin meningkatnya praktik pertuantanahan di daerah-daerah pedesaan sekitar wilayah kota, dan dengan demikian, daerah-daerah pedesaan semakin tergantung pada kota yang secara sosial dan ekonomi lebih dominan. Oleh sebab itu, perluasan kota bergerak lebih jauh melewati daerah pinggiran, tempat terjadinya pemecahan lahan dan pengembangan kota.

Dalam proses spekulasi tanah, kelompok elite kota pemilik tanah berupaya mendapatkan tanah-tanah di pinggiran kota dan desa-desa yang lebih jauh. Tetapi yang terjadi tidak hanya meningkatnya praktik pertuantanahan dan makin besarnya kontrol kota terhadap desa, tetapi juga terjadinya perubahan kultural dalam norma-norma hukum yang mengatur kepemilikan tanah.

Dengan meningkatnya kekuasaan sosial ekonomi masyarakat kelas atas kota dan upaya-upaya spekulatif mereka, maka hak pemilikan lahan yang berdasarkan pada hukum prakapitalis pun dikurangi. Akibatnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat petani di desa-desa pinggiran kota semakin lamah. Akibat yang sering ditimbulkan oleh langkah ini ialah munculnya sistem campuran pemilikan lahan kota yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas.

Konflik-konflik yang muncul dari kesenjangan ini, erat terkait dengan migrasi dan redistribusi internal penduduk kota. Sesungguhnya, perubahan dalam kepemilikan lahan kota, yang mempengaruhi akses ke produksi dan perdagangan di kota dan mempengaruhi pula sarana penghidupannya, mencerminkan serangkaian proses sosial paling mendasar yang terjadi dalam masyarakat, tidak sekedar mancerminkan aspek ekonomi saja.

Dengan semakin meningkatnya urbanisasi, mungkin kepemilikan lahan secara kaum ini akan terus bertahan dalam jangka panjang. Ada dua kondisi yang memungkinkan semakin meningkatnya kepemilikan lahan secara perorangan, yaitu angka kelahiran yang menurun tajam dan terbentuknya elite kelas atas pemilik tanah. Situasi ini pelan-pelan akan mengakibatkan makin banyaknya areal kota yang dimiliki secara perorangan, meski tidak mungkin untuk menghapus sama sekali kapemilikan lahan kaum.
 
Design by Pocket