Parched, Perempuan di Lingkaran Tradisi India

April 01, 2019

Hari ini ada pertemuan warga, dipimpin oleh para tetua, yang semuanya laki-laki. Pertemuan ini untuk membahas Campha yang kabur dari rumah mertuanya. Di rumah itu dia tidak mendapat kebahagiaan, suami tidak peduli padanya, dia hanya dijadikan bulan-bulanan oleh mertua dan saudara iparnya, dilecehkan dan disiksa, bahkan dia pernah menggugurkan kandungan karena tidak tau siapa ayah dari janin itu. Tetua memutuskan Campha harus kembali ke rumah mertuanya untuk menjaga kehormatan desa dan menghindari pertikaian dua keluarga. Aku melihat Campha menangis, memohon pada ibunya, meminta pertolongan, tapi sia-sia.

Inilah desaku, terletak di Rajasthan, India. Segala hal diputuskan oleh para tetua. Di sini laki-laki bebas melakukan apapun, tapi perempuan sangat terbatas. Apa yang ingin kami lakukan, apa yang ingin kami miliki, semua ditentukan oleh laki-laki. Mereka yang berhak memutuskan apa yang benar dan salah bagi kami. Turun-temurun hal itu dilakukan, sudah menjadi tradisi. Maka tak heran kekerasan terhadap perempuan sering terjadi, tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tapi juga perempuan. Seperti yang aku lakukan pada menantuku.

Aku Rani, janda beranak satu. Anakku laki-laki, Gulap namanya, aku menikahkannya dengan seorang gadis pilihanku, Janki. Dengan mas kawin 4 lakh aku membawa Janki pulang ke rumah, namun aku, anakku, dan seluruh warga desa kaget ketika melihat rambutnya yang pendek. Semua orang mengutuk dan mencelanya, termasuk aku. Keesokan harinya ibuku meninggal, semua berpikir dia meninggal karena malu melihat rambut Janki. Aku dan anakku semakin tidak menyukai Janki dan memperlakukannya dengan kasar. Hal yang biasa bagi mertua berlaku demikian, terlebih jika menantu tak sesuai harapan.

Aku merasa iba melihat kekerasan yang dialami perempuan di desaku, namun entah kenapa aku melakukannya juga, ini seperti sudah mendarah daging. Lajjo, teman dekatku, tidak ada hari yang berlalu tanpa kekerasan yang dilakukan suaminya, Manoj, karena Lajjo tidak bisa memberinya anak. Di sini perempuan yang tidak bisa melahirkan anak dianggap tidak berharga dan memalukan, maka Lajjo berhak mendapat perlakuan buruk terus menerus. Ketika kesakitan dia datang padaku, aku mengobati lukanya dengan perasaan sedih. Tapi aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Lajjo tersakiti dan aku kesepian, sebab itu kami sering menghabiskan waktu bersama. Kami pun tak jarang saling "menyentuh", karena kami merindukan belaian lembut dan kasih sayang dari seseorang. Sebenarnya aku memiliki teman dekat yang lain, namanya Bijli, seorang pelacur. Walau dia tidak tinggal di desaku seluruh penduduk kenal dengannya. Laki-laki di desa sering menyaksikan tarian erotis Bijli, bahkan tidur dengannya. Gadis itu sangat cantik, dia memiliki aura seksi. Jangankan laki-laki, perempuan sepertiku saja bisa terbius olehnya. Aku dan Bijli jarang bertemu namun pertemanan kami masih terjalin dengan baik. Dulu suamiku adalah pelanggan setia Bijli, sampai akhirnya lelaki itu tewas dalam kecelakaan, kemudian Bijli datang, sejak itu kami berteman.

Bijli memiliki pemikiran yang terbuka, tidak tunduk pada tradisi. Dia yang menyadarkanku soal Gulap. Dia mengatakan perilaku Gulap sudah melewati batas dan harus dihentikan. Aku merasa terpukul dan marah pada Bijli, tapi kemudian aku menyadari apa yang dikatakannya benar. Gulap pernah terlilit utang karena dia hobi bermain perempuan, dia juga merusak kerajinan yang dibuat oleh perempuan desa, aku menyalahkan Janki atas semua yang dilakukan Gulap. Uangku juga pernah hilang, tanpa curiga pada Gulap aku justru menuduh Janki. Untuk menunjukan bahwa dirinya tidak bersalah, Janki rela dipukili Gulap, aku menolongnya, kuusir Gulap dari rumah.

Janki mengungkapkan perasaannya, dia merasa tertekan dipaksa menikah dengan Gulap. Dia sengaja menggunting rambutnya supaya pernikahan dibatalkan, namun ternyata tidak. Janki memiliki kekasih, mereka saling mencintai, beberapa kali laki-laki itu datang ke rumahku untuk mempengaruhi Janki, namun Janki mengusirnya. Aku menyadari kekeliruanku, aku telah merampas hidup Janki. Akhirnya aku membebaskan Janki dari ikatan pernikahan, menyerahkannya pada pemuda yang selama ini dia cintai.

Tidak hanya menyadarkanku, Bijli juga memberi harapan pada Lajjo. Dia bilang bahwa laki-laki bisa mandul, jadi ada kemungkinan kalau Lajjo tidak mandul. Untuk membuktikan itu Bijli memberi ide, Lajjo setuju. Suatu malam kami pergi mengantar Lajjo ke sebuah tempat, di sana Lajjo dan kekasih Bijli berhubungan seks. Kemudian, terbukti ucapan Bijli, Lajjo hamil.

~

Lajjo memberi tau Manoj, bukan kegembiraan yang didapat, dia justru dipukuli, dituduh berselingkuh. Lajjo bersikukuh tidak selingkuh, namun pria itu semakin marah, mempertanyakan anak siapa yang ada di kandungnya. Di situ Lajjo sadar selama ini Manoj menutupi kemandulannya. Untuk menutupi rasa malunya dia terus menerus menyiksa Bijli, membuat seolah-olah Bijli yang mandul.

"Anak itu bukan milikku, tidak akan jadi milikku, karena kau seorang pelacur."

"Mungkin aku memang pelacur, tapi aku tidak mandul. Katakanlah pada semua orang, isterimu tidur dengan orang lain, isterimu hamil, katakanlah kau tak mampu melakukannya karena kau mandul."

Semakin keras pukulan dan tendangan menghantam tubuh Lajjo. Aku datang tepat waktu, kami bertiga bergulat, sampai akhirnya pria itu jatuh ke api lalu terbakar. Aku dan Lajjo meninggalkan Manoj dalam kuburan api, kami berlari menemui Bijli di tendanya, dan memutuskan pergi dari desa itu.

Desaku, desa yang memenjara kehidupan perempuan, desa yang menolak untuk maju, karena para laki-laki takut kehilangan posisi mereka. Sayang sekali, ketika ada orang yang ingin memajukan desa, justru dihajar habis-habisan sampai sekarat. Desa terkutuk yang membiarkan laki-laki mabuk, bermain pelacur, memukuli isteri, melecehkan orang lain, dan perempuan lah yang harus membayar semuanya.

Sekian.

 
Design by Pocket