Jalan Pintas Menembus Batas

Oktober 06, 2010


Tuntutan hidup membuat orang berlomba-lomba untuk mencari harta. Maka tak heran jika harta menjadi sesuatu yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Berbagai cara pun dilakukan untuk mendapatkan harta, baik cara sportif maupun cara curang. Setiap orang memiliki definisi masing-masing tentang harta berdasarkan apa yang mereka anggap paling penting. Misalnya, bagi peserta didik harta mereka adalah nilai, bagi koruptor harta mereka adalah uang. Seakan telah membudaya, cara curang tersebut dianggap hal yang biasa, bahkan dianggap lumrah.
Salah satu cara curang yang dianggap biasa adalah menyontek, bahkan banyak orang yang menobatkan menyontek sebagai “budaya” Indonesia. Mulai dari ujian sekolah, ujian nasional, ujian Pegawai Negeri Sipil (PNS), plagiat di tingkat universitas, bahkan menyontek budaya antarnegara yang sampai sekarang masih hangat dibahas di beberapa media. Setiap manusia memang memiliki sifat dasar untuk meniru, namun bukan berarti menyontek dapat dianggap wajar.
Menyontek termasuk dalam kategori tindakan yang tidak jujur. Tindakan tersebut dilakukan secara sadar untuk mendapatkan keuntungan. Menyontek adalah sebuah pelanggaran aturan main, karena mengesampingkan nilai-nilai keadilan. Meski demikian, menyontek telah menjadi salah satu persoalan pendidikan di Indonesia. Sayangnya, persoalan tersebut kurang mendapat perhatian, mungkin karena menyontek dianggap sebagai sesuatu yang sepele. Padahal, menyontek merupakan permasalahan mikro yang berakibat makro.
Secara psikologis, pada umumnya mereka yang memutuskan untuk menyontek disebabkan karena kurangnya rasa percaya diri dan menghargai diri sendiri. Maka dalam pengambilan keputusan, menyontek menjadi pilihan alternatif. Keputusan tersebut dinilai menguntungkan diri mereka. Situasi pengambilan keputusan yang dihadapi seseorang akan mempengaruhi keberhasilan suatu pengambilan keputusan. Setelah seseorang berada dalam situasi pengambilan keputusan maka selanjutnya ia akan melakukan tindakan untuk mempertimbangkan, menganalisa, melakukan prediksi, dan menjatuhkan pilihan terhadap alternatif yang ada (Matlin, 1998 dalam Kuntadi, 2004: 14).
Reaksi individu yang dihasilkan dari proses tersebut pun berbeda-beda sesuai dengan kondisi setiap individu. Ada individu yang dapat dengan mudah menentukan sikap terhadap pertimbangan yang telah dilakukan, namun ada juga yang mengalami kesulitan untuk  menentukan  sikapnya. Individu yang sulit menentukan sikapnya akan merasa kurang percaya diri dengan apa yang ingin ia lakukan.
Dalam kasus menyontek, peserta didik ingin mendapatkan nilai yang maksimal dalam ujian. Untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, maka peserta didik mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan. Jika mereka merasa percaya diri, mereka tidak akan mengambil keputusan untuk menyontek. Namun, jika tidak, maka keputusan yang diambil adalah sebaliknya, menyontek. Pertimbangan lainnya adalah situasi dan kondisi yang memungkinkan mereka untuk menyontek. Namun, semua kembali kepada masing-masing individu, karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, reaksi individu yang dihasilkan akan berbeda-beda.
Selain itu, menyontek pun terjadi karena dalam dunia pendidikan, kegagalan tidak dapat ditolerir. Artinya, peserta didik dituntut untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, yakni nilai yang bagus. Jika nilai mereka tidak bagus, mereka akan dianggap gagal. Maka, untuk menghindar dari kegagalan tak jarang dari mereka yang memilih menggunakan cara-cara curang. Fenomena ini disebut sebagai “jalan pintas” untuk meraih kesuksesan. Hal tersebut membuktikan bahwa orientasi pendidikan di Indonesia bukan lagi terhadap proses, melainkan lebih kepada hasil.
Jalan pintas banyak menjadi pilihan karena dianggap instan. Istilah “instan” yang semula hanya dikenal dalam makanan dan minuman, secara tiba-tiba menyeruak masuk menjadi kosakata ke dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan peserta didik dan pejabat. Kecenderungan menggunakan cara instan ini tidak hanya diadopsi oleh peserta didik, pada kenyataannya banyak pula pejabat yang sering menggunakan cara instan untuk mendapatkan harta, yakni uang. Inilah budaya instan yang merasuki bangsa Indonesia.
Melangkahi Nilai-nilai Positif
Meski tidak bisa dibuktikan secara empiris, tetapi banyak orang berpendapat tingginya tingkat korupsi di Indonesia memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh koruptor pada saat mereka masih menjadi peserta didik. Begitu pun sebaliknya, peserta didik yang sudah terbiasa menyontek memiliki potensi untuk menjadi penjahat kerah putih seperti koruptor.
Sebenarnya, korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi sulit dibuktikan secara nalar ilmiah. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa menyontek dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu, juga masyarakat. Dampak negatif bagi individu akan terjadi jika perilaku tersebut dilakukan secara terus-menerus, sehingga menjadi kepribadian. Sedangkan, dampak negatif bagi masyarakat terjadi jika masyarakat telah terbuka dan menerima perilaku menyontek sebagai perilaku yang dianggap biasa, sehingga mengakibatkan hilangnya kontrol sosial terhadap perilaku menyontek. Dengan begitu, peluang bagi perilaku menyontek menjadi besar. Jika menyontek sudah dianggap biasa, maka korupsi nantinya juga dapat dianggap biasa.
Hal tersebut terbukti dengan maraknya praktik korupsi. Walaupun korupsi banyak mendapat reaksi yang negatif, namun nyatanya korupsi tumbuh subur di negeri ini. Tindakan tidak terpuji ini melibatkan berbagai pejabat negara, dari pejabat eksekutif, legislatif, bahkan sampai pejabat yudikatif. Inilah bukti sudah melemahnya kontrol sosial.
Menyontek dan korupsi hampir sama nilainya. Sama-sama ingin hasil yang besar dalam waktu singkat dengan jalan pintas, tanpa disertai usaha yang maksimal dan sportif. Pada dasarnya jalan pintas bukan sesuatu yang buruk, jalan pintas merupakan cara yang ditempuh supaya efisien dan efektif. Namun sayangnya, jalan pintas kerap dipakai untuk hal-hal negatif, seperti menyontek dan korupsi. Bahkan jalan pintas tersebut dianggap biasa oleh pelakunya. Tidak jarang dari pelakunya yang merasa bangga dengan apa yang mereka lakukan. Inilah yang layak disebut jalan pintas menembus batas nilai-nilai sosial.
Tidak Sekedar Pendidikan Moral
Dampak korupsi sangat besar dan merugikan. Maka dari itu, korupsi harus ditumbangkan dari akarnya, yakni menyontek. Upaya yang harus dilakukan tidak sekadar pencegahan dengan memberikan pendidikan moral kepada pelaku, akan tetapi pencegahan dalam tindakan nyata dan melalui pembiasaan. Hal tersebut dapat dimulai dengan menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan peserta didik untuk menyontek. Misalnya, dalam ujian peserta didik hendaknya diberi tipe soal berupa pemecahan permasalahan atau kasus yang menggunakan kemampuan analisis mereka, sehingga tidak menciptakan kondisi atau celah bagi peserta didik untuk menyontek. Selain itu, tipe soal semacam ini juga dapat memancing kekritisan peserta didik dalam menanggapi berbagai permasalahan atau kasus, mereka dapat mengemukakan apa yang ada di dalam pikirannya. Dengan begitu, peserta didik akan merasa lebih dihargai, jika mereka merasa dihargai, maka mereka akan menghargai diri sendiri dan memiliki rasa percaya diri untuk tidak menyontek. Dalam hal ini, pendidik dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif.
Selain itu, pendidik hendaknya tidak mematok nilai sebagai hasil pembelajaran yang dicapai oleh peserta didik. Pendidik harus mementingkan proses daripada hasil agar dapat mengurangi tekanan terhadap peserta didik. Sehingga, tidak ada alasan untuk menyontek demi mendapatkan nilai yang bagus. Menghargai apa yang didapat peserta didik bukan melihat pada kuantitas (nilai), melainkan kualitas (proses), karena tidak selalu kuantitas mencerminkan kualitas.
Pendidik juga harus bijaksana dalam menghadapi peserta didik yang menyontek. Jangan sampai pelaku dilabeli “tukang nyontek” karena akibatnya pelaku akan menginternalisasi label negatif tersebut menjadi bagian darinya, dan bukan tidak mungkin ia akan mengulanginya secara terus-menerus. Cara terbaik, pendidik tidak perlu malabeli pelaku, tetapi pendidik harus mencari tahu alasannya menyontek, kemudian melakukan pendekatan secara emosional untuk membantu pelaku supaya tidak menyontek lagi. Selain itu, pendidik diharapkan bisa membangkitkan rasa percaya diri dan kejujuran peserta didik, supaya mereka dapat menghargai dirinya sendiri. Karena, hal tersebut akan berkontribusi besar dalam pembentukan karakter seseorang.
Pengubahan kurikulum di sekolah hendaknya juga perlu dilakukan, karena kurikulum yang ada sekarang merupakan bentuk pemaksaan dan penekanan. Peserta didik dituntut untuk “ini” dan “itu”, sehingga sekolah menjadi area kompetisi. Situasi yang seperti itu tidak baik bagi peserta didik. Pasalnya, energi mereka akan terkuras untuk mengatasi rasa malu dan ketakutan akan kegagalan berkompetisi. Cara ini tidak akan dapat membangun karakter peserta didik, karena kompetisi akan menimbulkan tekanan dan kecemasan. Takut gagal dan malu adalah salah satu alasan peserta didik menyontek. Kurikulum yang baik adalah yang tidak menjadikan sekolah sebagai area kompetisi.
Perbaikan tidak hanya dilakukan pada institusi pendidikan. Keluarga pun harus menciptakan lingkungan yang positif, karena hal tersebut akan memberikan sumbangan pada internalisasi nilai-nilai yang positif pula. Sesuai dengan yang dikemukankan oleh Kohlberg, yakni perubahan perkembangan dapat terjadi dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal. Jadi, lingkungan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter individu.
Jika menyontek dapat diminimalisir mulai saat ini, maka sikap-sikap negatif di “bangku sekolah” tidak akan terbawa sampai di ranah pekerjaan, karena sikap-sikap negatif tersebut dapat menjerumuskan mereka ke dalam praktik korupsi. Menghilangkan kebiasaan menyontek yang sudah mengakar di Indonesia tidak dapat dilakukan dengan cara instan. Namun, sikap optimis harus tetap ada, karena itu merupakan modal yang paling dasar untuk memulai dan itulah cermin keteguhan bangsa.
Daftar Pustaka
Darmaningtyas. 2005. Pendidikan Rusak-Rusakan. Yogyakarta: Lkis.
Pora, Yusran. 2007. Selamat Tinggal Sekolah. Yogyakarta: MedPress.
 
Design by Pocket