Tuhan
menurunkan agama sebagai pedoman dasar kehidupan umat manusia. Dengan agama,
manusia mamiliki landasan etika dan moral dalam menjalankan hidup sesuai dengan
tuntutan Tuhan. Dengan kata lain, agama lahir untuk manciptakan manusia
beradab. Agama sebagai sistem nilai tersebut memberi kejelasan kepada manusia
tentang apa yang baik dan yang buruk, yang mendasari seluruh kegiatannya dalam
menciptakan peradaban.
Setiap
agama diisyaratkan memiliki prinsip dasar. Pertama,
mengakui suatu logika yang menyatakan bahwa yang satu bisa dipahami dan
diyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Kedua, mengakui bahwa kualitas pengalaman keagamaan yang partikular
dan beragam itu hanya sebagai alat
dan jalan untuk mencapai kebenaran
absolut yang universal. Ketiga,
walaupun pengalaman religiusitas yang partikular itu dipahami hanya sebagai alat atau jalan untuk mencapai realitas absolut, tetapi masing-masing jalan itu harus diyakini sebagai satu
jalan yang mutlak. Namun, sikap ini mengakui adanya kemungkinan penganut jalan yang berbeda, mamiliki sikap yang
sama, yaitu memutlakkan jalan yang
dianutnya.
Namun,
perlu diperhatikan bahwa agama yang ada di bumi tidak hanya satu melainkan
beragam, yang masing-masing mengklaim ajarannya paling benar. Pengklaiman
semacam itu sebenarnya wajar dan menjadi hak penganutnya, akan tetapi jika
tidak diletakan pada posisi yang proposional akan menimbulkan konflik. Apalagi
jika sampai menafikan eksistensi agama lain. Kisah bangsa Palestia dan Bosnia,
atau konfrontasi Kristen Katolik dan Protestan adalah realita yang tak
terbantahkan. Tentu saja agama itu bertolak belakang dengan tujuan lahirnya
agama semula.
Jika
di atas dikatakan agama sebagai pedoman dasar kehidupan umat manusia, maka
seharusnya agama dapat menjadi tempat yang jauh dari persoalaan-persoalan rumit
duniawi dan menjadi penyelamat bagi umatnya. Namun pada kenyataannya, banyak
persoalan yang menyangkut keagamaan yang sebenarnya muncul bukan karena agama
itu sendiri, melainkan muncul dari penganut agama tersebut yang tidak dapat
beradaptasi dengan keberagaman.
Keberagaman
agama memang tidak dapat dilihat terpisah dari budaya. Agama dan budaya saling memiliki
keterkaitan, karena agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Sebenarnya
keduanya tidak mempermasalahkan hal tersebut, namun para penganutnyalah yang
tidak mampu beradaptasi dengan keanekaragaman. Beranjak dari hal tersebut,
mencuat keniscayaan imperatif (perintah) dan kewajiban etis untuk menciptakan
saling pengertian dan penghargaan yang lebih baik antara kaum beragama lewat
suatu dialog. Seandainya penganut agama mau berdialog satu sama lain dan
mematikan ego masing-masing, duduk sejajar dalam keberagaman agama tetapi
dengan satu Tuhan, mungkin dengan begitu tujuan dasar agama akan terbentuk. Dialog
satu Tuhan merupakan suatu cara untuk menyatukan para penganut agama. Lebih
dari itu dialog ini juga dapat menyelesaikan persoalan etis kemausiaan dewasa
ini yang semakin kompleks seiring dengan laju modernisasi. Dengan dialog,
diharapkan cara berfikir teologi klasik yang penuh dengan apriori terhadap
agama lain terkikis.
Persoalan keberagaman agama -budaya atau langit- pada
akhirnya mengarah ke langit. Semuanya memiliki konsep Tuhan yang diyakini paling
memiliki otoritas dalam sistem persembahannya. Dalam agama langit pun terjadi
kecenderungan didominasi oleh pemahaman ataupun penafsiran manusia dalam
pengembangannya. Oleh karena itu hal ini menjadi kabur, masih bisakah
agama-agama itu disebut sebagai agama langit, yang diyakini keseluruhannya
merupakan kemauan Ilahi. Lalu, jadilah agama-agama itu sebagai agama budaya
juga. Termasuk pula dengan agama Islam, yang selama ini paling diyakini sebagai
agama langit yang masih murni. Dalam kenyataan banyak yang tampil penuh nuansa
agama budaya.
Perdebatan tentang agama budaya dan agama langit pun sering
menimbulkan diskusi tak berakhir. Semua agama lokal yang dianut kelompok etnik,
seperti agama Jawa, Kaharingan dan sebagainya senantiasa dikelompokkan ke dalam
agama budaya. Nyaris tak ada yang menyanggah pandangan ini. Namun, ketika orang
berbicara tentang agama etnik besar seperti Buddha, Hindu, Tao maupun Shinto
masih banyak yang belum sepakat. Selama ini agama langit hanya dinisbatkan pada
agama-agama Timur Tengah, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Merekalah yang
dianggap sebagai agama wahyu. Sementara itu banyak ahli yang memasukkan
kemungkinan pemikir-pemikir kuno seperti Socrates maupun Aristoteles termasuk
para nabi, dalam artian penerima wahyu, meskipun mereka tidak berbicara tentang
Tuhan. Mereka lebih banyak berbicara tentang tata krama hidup.
Nampaknya ekses dari pengelompokan agama budaya dan agama
langit masih meninggalkan kesan mendalam. Ada yang beranggapan, apa pun nama
Tuhan mereka, pada hakikatnya satu juga. Inilah pengertian hakikat. Sebagai
implikasinya muncullah tradisi atau ritus baru yang disebut "doa
bersama". Sementara itu yang menolak "ritus baru" itu
beranggapan bahwa secara konseptual pengertian Tuhan itu sudah berbeda. Oleh
karenanya tidak sebaiknya dipaksakan untuk dibaurkan. Jadi, sebenarnya fenomena
bertuhan tanpa agama, bukanlah sesuatu yang aneh. Karena biasanya kehendak ini
muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi agama yang kerap mendukung
terjadinya diskriminasi. Apalagi manusia, secara lahiriah memiliki kapasitas
untuk langsung berkomunikasi dengan Tuhan tanpa melalui institusi agama. Dan,
fenomena munculnya manusia yang bertuhan tanpa agama harus dimaknai sebagai
bentuk kritik terhadap tereduksinya peran agama oleh kepentingan pribadi pemuka
agama.
Untuk
mewujudkan tatanan masyarakat yang maju (modern), maka jalan yang dapat
ditempuh adalah dengan alternatif proses konflik yang diharapkan dapat mengubah
watak dan pola pikir masyarakat dalam menggapai dan merealisasikan tujuan
pembangunan dan pengembangan (peningkatan) taraf hidup. Dalam merealisasikan
maksud tersebut, tidak seharusnya melalaikan konsep yang telah diajarkan oleh
agama mengenai dasar pemahaman tentang pembangunan (kosmos) yang tetap memegang
etika transendental-religius di samping moral kesusilaan dalam hubungannya
dengan kehidupan bermasyarakat. Untuk merealisasikan keinginan terwujudnya negara
modern (maju) yang akan mendatangkan kehidupan yang lebih sejahtera lahir
maupun batin, maka mengaplikasikan ajaran agama dan Tuhan adalah sebuah
keharusan yang tak dapat diganggu gugat, di samping harus mempu melahirkan
manusia-manusia yang bercirikan dengan wataknya masing-masing.
Seharusnya
agama-agama di dunia dilandasi oleh penghargaannya terhadap agama-agama lokal
yang bersifat etis dan emansipatoris, yang mampu memberikan pedoman bagi
tingkah laku sehari-hari manusia yang penuh damai, toleran, bekerjasama, anti
perang, dan mengedepankan pertumbuhan pribadi. Fenomena agama-agama yang telah
melahirkan penderitaan manusia: perang, pertikaian, pertentangan, saling jegal,
apalagi kematian akibat saling bunuh, adalah agama-agama yang kehilangan akal.
Agama
yang bersifat etis dan emansipatoris adalah agama yang mampu membuat seseorang
merasakan secara mendalam problem nasib manusia (konflik), keinginan untuk
menghapuskan penderitaan umat manusia, dan harapan bahwa masa depan akan
mewujudkan kemungkinan terbaik bagi spesies kita.
Hal
ini tampaknya dapat dijadikan salah satu referensi untuk belajar merefleksikan
dan membangun wajah agama-agama yang lebih manusiawi, lebih santun, lebih
menghargai hak hidup manusia-manusia yang lain walaupun memiliki banyak
perbedaan, tanpa harus menyingkir-nyingkirkannya dengan alasan bahwa yang lain
itu tidak lebih benar daripada yang dianutnya, serta lebih memusatkan perhatian
kepada upaya-upaya untuk menjalin kerjasama menghadapi problem-problem sosial
yang konkret.