Membaca judulnya jangan berpikir bahwa saya akan
bercerita pengalaman saya berdiri dengan satu kaki, sambil membungkuk dan
melebarkan lengan (masa TK). Atau, berdiri dengan satu kaki sambil menjewer
kedua telinga saya (masa SD). Tapi, boleh juga sih saya cerita sedikit tentang pengalaman itu sebelum saya
menceritakan apa yang sebenarnya ingin saya umbar dalam tulisan ini.
Kalau ingat masa-masa di TK pasti bahagia
(senyum-senyum sendiri). Coba dipikir, kalau bukan di TK, di mana lagi kita
bisa jadi pesawat, kancil, srigala, polisi, pilot, pramugari, arsitek dan
sebagainya? Coba dipikir, kapan lagi kita bisa 'sok-sok' punya profesi yang keren dan setiap saat bebas
ganti-ganti tanpa ada yang komentar nyi-nyir?
Ya, cuma di TK. Sayangnya, saat ini kebanyakan TK kurang mengajarkan anak
berimajinasi dan bermain, justru anak sekecil itu (nyanyi - Iwan Fals) dipaksa
untuk bisa baca-tulis. Yah, mau
gimana lagi ya, tuntutan untuk masuk SD semakin tinggi. Alhasil, anak-anak
dijejali "asupan" yang tidak sesuai dengan usianya. Ups, kok saya jadi sok mengkritisi ya... Hahaha. Mungkin, jari saya bisa mati rasa
kalau harus menceritakan semua pengalaman unik di TK. Baiklah, mari kita akhiri
cerita TK dengan mengucapkan, "Alhamdulillah...,
masih sempat merasakan masa anak-anak di TK".
Oke,
jangan buru-buru dulu ya. Jangan keburu nafsu, karena saya masih ingin cerita
(sedikit) tentang masa-masa di SD. Siapa yang pernah dihukum? Saya! (angkat
tangan). Siapa yang pernah dimarahi guru? Saya! (angkat tangan). Saya rasa Anda
juga pernah merasakan hal itu. Tapi saya tidak akan menceritakan kenapa saya
dimarahi guru (karena hanya akan memunculkan pembelaan, seolah saya tidak
bersalah).
Saya hanya akan menceritakan pengalaman dihukum
berdiri di depan kelas (tentunya) sambil menjewer kedua telinga. Bagaimana
rasanya? Ya, kalau dulu malu sangat. Kalau diingat-ingat sekarang (tak tau
kenapa) jadi lucu. Saya mencoba memperagakan lagi model hukuman seperti itu,
kemudian bercermin. ASTAGA! Pasti dulu saya terlihat imut dengan posisi yang
sudah melegenda itu, apalagi kalau ditambah senyum-senyum ala K-Pop. Hahaha. Saya beruntung merasakan
hukuman paling legendaris di dunia, dan sekarang hukuman seperti itu sudah
hampir punah. Andai dulu handphone
berkamera sudah menjamur, dan selfie
sedang trend, pasti saya abadikan
momen indah itu. Sudah-sudah..., yang tersimpan dalam ingatan itu lebih abadi,
Tris...!
Yap, mari tinggalkan ‘basa-basi-busuk’ yang
terlalu panjang. Saatnya bicara tentang keseimbangan.
Sejak saya suka bersepeda, saya mulai mempelajari
soal ketahanan dan keseimbangan. Saat mengayuh sepeda, saya merasa sedang
menggendong dunia di punggung. Kehidupan ada di tangan saya. Kalau saya
berhenti, kehidupan juga akan berhenti, karena saya akan meletakkannya dunia di tempat saya
memakirkan sepeda. Namun, jika saya terus mengayuh, dunia akan berjalan sesuai
dengan jalan yang saya tentukan. Mengingat beban berat yang saya panggul, saya
berusaha menjaga ketahanan. Walau rasanya lelah dan ingin menyerah, tapi saya
berusaha melampaui batas ketahanan saya.
Ketahanan, satu hal yang sering dilupakan orang
kebanyakan. Mereka hanya merasa harus bertahan semampu mereka. Padahal itu tak
akan memberikan pelajaran apapun. Mereka yang mengandalkan kekuatan untuk bertahan,
hanya akan mendapatkan pengalaman yang sama. Namun, mereka yang memanfaatkan
kelemahan untuk mencapai ‘lebih dari’ batas ketahanan diri akan mendapatkan
pengalaman yang luar biasa. Kalau kita pernah melakukannya, kita akan
mengetahui bagaimana cara mempertahankan keseimbangan. Karena untuk menciptakan
keseimbangan diri, kita harus tahu ketahanan diri.
Dalam keseimbangan, ketahanan diri merupakan
poros. Tanpa poros, kondisi seimbang tidak akan tercipta. Sifat poros harus
dipahami secara kontekstual, tidak bisa dibakukan. Karena, poros selalu berubah
mengiringi perkembangan diri. Untuk itu, kita harus selalu menguji ketahanan
diri. Kuncinya, jangan pernah menganggap bahwa itu merupakan obsesi, anggap
ujian itu sebagai pembelajaran yang akan memperbaharui diri.
Saya pernah memiliki pengalaman saat bersepeda. Mungkin
ini gila karena membahayakan nyawa, tapi saya melakukannya. Pukul 06.00 WIB
saya mulai mengayuh sepeda menuju kawasan Kelapa Gading, hanya butuh waktu 15
menit untuk sampai di sana. Sesampainya di sana saya jogging, sekitar 3 kilo. Setelah
itu saya mencoba beberapa alat olahraga yang tersedia, kemudian ikut senam
lansia dan dilanjutkan aerobik. Entah kenapa saya tidak merasa lelah sedikitpun.
Setelah beberapa jam berada di sana, saya
mengayuh sepeda menuju Penggilingan, rumah saya. Ternyata, perjalanan pulang
tidak semudah saat berangkat, di mana saat itu semesta mendukung. Saya melewati
kawasan industri pada pukul 08.30 WIB, kendaraan besar sudah banyak berlalu-lalang
meskipun di hari Minggu, debu jalanan beterbangan berbaur dengan asap pabrik. Betapa
sesaknya napas, mata terasa perih padahal kacamata keren (milik adik) sudah
nangkring di hidung (besar) saya. Meski demikian saya terus mengayuh, sempat
berpikir untuk istirahat namun saya buang jauh-jauh pikiran itu. Rasanya dada
ini sudah dipenuhi abu vulkanik letusan gunung krakatau ratusan tahun silam,
dan malaikat pencabut nyawa sedang bertengger di stang saya. Sepeda terus
berjalan melawan arah angin, bayangkan betapa beratnya, namun saya sedang berusaha
melampaui batas ketahanan saya, dan selama itu keseimbangan semakin terjaga. Saya
benar-benar merasakan kenikmatan yang klimaks ketika saya merasa ‘inilah waktu
terakhir saya’, karena saat itulah jarak antara saya dengan Tuhan semakin
dekat.
Itulah sedikit pengalaman luar biasa, yang
memberi pelajaran hebat. Bahwa, kesulitan yang saya alami membantu saya
menemukan di mana poros saya, membuatnya semakin kuat, sehingga keseimbangan
dalam diri saya tetap terjaga. Keseimbangan di sini tidak berbicara soal ‘pribadi
yang positif’, tapi lebih kepada ‘pribadi yang siap’. Ketika pernah berada di
posisi terendah, kita tak akan merasa takut dengan berbagai posisi yang
nantinya akan kita hadapi.
Melawan orang lain tak akan membuktikan apapun,
tapi melawan diri sendiri dapat membuat saya merasa lebih kuat.