Kebebasan berpendapat, menghargai
setiap pendapat. Tapi kebanyakan dari kita hanya fokus pada kata ‘kebebasan’. Kita
melupakan beberapa hal yang menyertai makna kebebasan berpendapat, seperti kepentingan,
kesetaraan dan sikap saling menghargai.
Seperti yang terjadi
pada kasus Charlie Hebdo. Ia dan negara yang ia tinggali sangat menjunjung
tinggi kebebasan berpendapat. Maka dari itu, baginya tidak jadi soal ketika ia
mengungkapkan pemikiran melalui karyanya tentang Islam, Kristen dan sebagainya.
Namun, bagaimana kebebasan tersebut dapat membakar amarah banyak golongan?
Berkaca dari kasus
tersebut, mari kita selami makna kebebasan yang selama ini membelenggu kita
dalam kebingungan.
Ketika kebebasan sudah
menjadi komoditas pribadi atau golongan, otomatis kepentingan publik sudah
dikesampingkan. Saat ini kebebasan lebih sering berada di sisi kepentingan
pribadi atau golongan. Contohnya, melalui jasa media massa seseorang bisa
meningkatkan citra dirinya, pun bisa menjatuhkan citra lawannya. Media massa memiliki
sebuah ‘ruang’ di mana sering terjadi penyalahgunaan kebebasan dalam
berpendapat dan menyampaikan informasi.
Mengapa demikian? Karena
media massa memiliki kekuatan dalam membentuk opini publik. Tidak sedikit orang
yang menggunakan media massa sebagai kendaraan untuk mencapai kepentingan
pribadi atau golongan, walaupun hal tersebut merugikan masyarakat. Hal ini
merupakan salah satu masalah yang muncul jika kita mengabaikan kepentingan publik
dalam implementasi kebebasan. Lantas, akibat yang muncul dari kesalahan praktek
kebebasan tersebut adalah munculnya ketidaksetaraan.
Hal ini sesuai dengan Teori
Masyarakat Massa. Teori tersebut menjelaskan beberapa hal tentang media massa,
kekuasaan dan ketidaksetaraan. Pertama, bahwa media massa berhubungan dengan
struktur kekuatan politik dan ekonomi. Kedua, media massa tunduk pada peraturan
politik, ekonomi dan hukum. Ketiga, media massa dipandang sebagai instrumen
efektif bagi kekuasaan untuk mempengaruhi. Keempat, media massa tidak dengan
rata tersedia untuk semua kelompok atau kepentingan.
Mereka yang memiliki
kekuatan (baik secara ekonomi, politik dan hukum) mampu menyetir media massa, menikmati
kebebasan dan mewujudkan kepentingan. Di lain sisi, masyarakat hanya dapat menelan
apa yang disajikan, dan suara-suara mereka menjadi terpinggirkan. Di sinilah
tercipta (apa yang disebut) mayoritas dan minoritas bukan berdasarkan jumlah,
tapi berdasarkan kekuasaan. Siapa yang berkuasa, berhak berbicara dan mengatur
apa yang harus diketahui orang lain, merekalah mayoritas. Ruang untuk bersuara
pun hilang.
Berkaitan dengan hal
itu, ketika masyarakat tidak lagi memiliki ruang untuk bersuara mereka rentan
menjadi korban dari prasangka, tidak menutup kemungkinan akan berkembang
menjadi konflik. Ini merupakan bentuk pembodohan di era kebebasan yang dilakukan
oleh sebagian orang atau golongan. Sayang sekali, padahal seharusnya media
massa dapat memberikan ‘ruang’ untuk membangun kesetaraan dengan membukan akses
yang berlaku setara bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bersuara.
Masalah di atas
menunjukan bahwa kini kebebasan tidak lagi berbicara soal kepentingan publik,
tapi lebih kepada kepentingan pribadi atau golongan. Banyak dari kita yang
merasa senang ketika kebebasan sudah menjadi urusan personal, tanpa tahu dampak
yang ditimbulkan. Jika seseorang menggunakan jasa media untuk menjatuhkan pihak
lain melalui ucapannya, bukankah itu kebebasan? Ya. Apakah ada sanksi untuknya?
Ada. Siapa yang dirugikan? Banyak pihak. Jadi, dalam hal ini kita tidak dapat
melihat kebebasan sebagai privasi. Karena yang kita tekankan adalah apa akibat
yang muncul dari kebebasan tersebut dan siapa yang dirugikan, bukan soal apa
sanksi yang didapatkan pelaku. Maka dari itu, kebebasan (sepenuhnya) tidak
dapat menjadi milik pribadi.
Jika kita menganggap
kebebasan berpendapat sebagai privasi, maka kita melupakan esensi kebebasan,
yakni saling menghargai. Sebagai contoh Charlie Hebdo yang (katanya) menjunjung
tinggi kebebasan berpendapat, nyatanya justru menyalakan amarah banyak
golongan. Kenapa? Karena, ia lupa tentang sikap saling menghargai, lupa tentang
kesetaraan dan kepentingan publik.
Kita bebas, tapi kita tak bebas melepas.