Kepemilikan dan penguasaan lahan kota tidak jauh
kaitannya dengan urbanisasi. Hak penggunaan lahan adalah hak yang melekat pada
seseorang, baik secara kewarganegaraan atau keanggotaannya dalam suatu silsilah keluarga.
Setelah berkembangnya merkantilisme dan kapitalisme, lahan-lahan mulai
dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dipertukarkan di
pasar. Kapemilikan lahan merupakan dasar berkembangnya posisi dominan hak milik
pribadi dalam kapitalisme modern. Tetapi yang menjadi pusat perkembangannya
adalah kota. Jadi, ada hubungan yang intrinsik antara urbanisasi dan
perkembangan konsep hak milik pribadi.
Awal
terjadinya penguasaan lahan kota ditandai dengan adanya proses urbanisasi.
Urbanisasi ini terjadi sebagai akibat dari perampasan lahan pedesaan secara
terus menerus tanpa memperhatikan garis batas kota. Kepadatan penduduk di kota
karena urbanisasi mengakibatkan sering terjadinya pemisahan kaum dan diiringi
dengan pembagian lahan. Kemudian para perantau (kaum urban) kesulitan untuk
membeli tanah karena faktor ekonomi, selain itu adanya larangan menjual tanah
kepada kaum pendatang.
Para
pakar ekologi kota membedakan proses urbanisasi atas dua aspek utama, yaitu aspek
ekspansi dan aspek agregasi. Ekspansi mengacu terutama pada pertumbuhan spatial wilayah perkotaan sedangkan agregasi
mengacu pada peningkatan konsentrasi penduduk di perkotaan.
Pengalihan
lahan desa menjadi lahan kota mengakibatkan terpecahnya kepemilikan lahan, dan
apabila itu sudah terlaksana maka pola pemecahan kepemilikan lahan di kota
tidak berubah-ubah lagi. Pemecahan lahan biasanya terjadi sebelum pengembangan
kota dilaksanakan, kendati kadang-kadang keduanya terjadi bersamaan.
Di
kebanyakan negara berkembang, urbanisasi terjadi bukan disebabkan oleh
industrialisasi, sementara laju urbanisasinya melebihi kapasitas struktur
ekonomi dan sosial kota. Sektor industri yang lamban dan pertumbuhan dikuasai
oleh modal asing, maka investasi pada tanah menjadi salah satu cara utama untuk
meraih sukses ekonomi.
Institusional
spekulasi tanah mengurangi kemampuan migran kota dalam membeli tanah untuk
tempat tinggal di daerah pinggiran kota, karena daerah ini cenderung lebih
sebagai objek spekulasi tanah ketimbang untuk perluasan dan pembangunan kota.
Hal ini mengakibatkan terjadinya kesesakan di pusat kota dan terbentuknya
daerah-daerah kumuh kelas buruh. Spekulasi tanah dan meningkatnya harga tanah
bisa jadi berakibat pada semakin banyaknya daerah pemukiman liar dan pembangunan
dengan lompatan jauh.
Spekulasi
tanah dan perubahan kepemilikan lahan kota dan lahan desa akhirnya telah
mengakibatkan terjadinya redistribusi penduduk kota, padatnya penduduk di suburb-suburb dalam kota, berbaurnya
kelompok-kelompok etnis, terjadinya konflik antara penghuni liar dan pemilik
tanah di kota, dan meletusnya kerusuhan rusial.
Urbanisasi
dan pertumbuhan jumlah elite kota dapat meningkatkan praktik pertuantanahan
atau mengakibatkan semakin banyaknya orang yang tidak memiliki tanah.
Sebagian
besar lahan kota justru digunakan untuk ruang hidup bagi reproduksi penduduk
kota. Kenaikan harga tanah semakin memperkuat dominasi kelas pemilik lahan kota
yang menguasai saham kapital kota dalam porsi yang sangat besar dan tumbuh
terus berupa tanah dan bangunan. Konsentrasi kepemilikan lahan memang sangat
tinggi.
Data
tentang spekulasi tanah tampaknya menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan
makin meningkatnya diferensiasi pendapatan berkaitan dengan tanah, akibatnya
semakin banyak lahan terkonsentrasi di tangan golongan kelas atas kota.
Kontrol
administratif dan politis atas “sarana reproduksi” melalui pembentukan
unit-unit administratif pemerintahan yang sangat kecil dan pembentukan
kelompok-kelompok pengawas, yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang
menduduki lahan secara liar, mestinya dipandang sebagai sesuatu yang
komplementer dalam proses pertumbuhan dan pemiskinan kota.
Konsentrasi
pemilikan lahan cenderung mengakibatkan kesesakan dan kepadatan penduduk di
sejumlah daerah kota, sementara di sejumlah daerah lain lahannya praktis
menganggur karena dijadikan objek spekulasi.
Bentuk
“pembangunan” khas yang dilaksanakan di pusat-pusat kota Dunia Ketiga
mengakibatkan terjadinya spekulasi tanah, semakin kayanya kelompok elite
pemilik lahan kota, semakin meningkatnya praktik pertuantanahan di
daerah-daerah pedesaan sekitar wilayah kota, dan dengan demikian, daerah-daerah
pedesaan semakin tergantung pada kota yang secara sosial dan ekonomi lebih
dominan. Oleh sebab itu, perluasan kota bergerak lebih jauh melewati daerah
pinggiran, tempat terjadinya pemecahan lahan dan pengembangan kota.
Dalam
proses spekulasi tanah, kelompok elite kota pemilik tanah berupaya mendapatkan
tanah-tanah di pinggiran kota dan desa-desa yang lebih jauh. Tetapi yang
terjadi tidak hanya meningkatnya praktik pertuantanahan dan makin besarnya
kontrol kota terhadap desa, tetapi juga terjadinya perubahan kultural dalam
norma-norma hukum yang mengatur kepemilikan tanah.
Dengan
meningkatnya kekuasaan sosial ekonomi masyarakat kelas atas kota dan
upaya-upaya spekulatif mereka, maka hak pemilikan lahan yang berdasarkan pada
hukum prakapitalis pun dikurangi. Akibatnya, kondisi sosial ekonomi masyarakat
petani di desa-desa pinggiran kota semakin lamah. Akibat yang sering
ditimbulkan oleh langkah ini ialah munculnya sistem campuran pemilikan lahan
kota yang tidak memiliki landasan hukum yang jelas.
Konflik-konflik
yang muncul dari kesenjangan ini, erat terkait dengan migrasi dan redistribusi
internal penduduk kota. Sesungguhnya, perubahan dalam kepemilikan lahan kota,
yang mempengaruhi akses ke produksi dan perdagangan di kota dan mempengaruhi
pula sarana penghidupannya, mencerminkan serangkaian proses sosial paling mendasar
yang terjadi dalam masyarakat, tidak sekedar mancerminkan aspek ekonomi saja.
Dengan
semakin meningkatnya urbanisasi, mungkin kepemilikan lahan secara kaum ini akan
terus bertahan dalam jangka panjang. Ada dua kondisi yang memungkinkan semakin
meningkatnya kepemilikan lahan secara perorangan, yaitu angka kelahiran yang
menurun tajam dan terbentuknya elite kelas atas pemilik tanah. Situasi ini
pelan-pelan akan mengakibatkan makin banyaknya areal kota yang dimiliki secara
perorangan, meski tidak mungkin untuk menghapus sama sekali kapemilikan lahan
kaum.