ABSTRAK
Ilmu pengetahuan dan teknologi menciptakan segala
sesuatu menjadi lebih praktis (efisien dan efektif). Masyarakat dituntut untuk
mengikuti perkembangan yang lebih mengarah pada modernisasi ini. Hal tersebut
diperluas dengan melihat perubahan mengenai bagaimana manusia menjalankan
hidupnya. Segala aspek dapat mempengaruhi pola perubahan, termasuk pada pola perilaku
konsumtif. Masyarakat memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan sesuai
tuntutan waktu. Untuk memenuhi hasrat konsumtif masyarakat, industri memiliki
berbagai inovasi. Munculnya inovasi tersebut merupakan sisi positif bagi
perekembangan zaman. Namun di sisi lain, perkembangan zaman yang modern membawa
dampak negatif bagi masyarakat.
Tulisan ini menyajikan hasil penelitian mengenai perubahan
perilaku konsumtif masyarakat yang tinggal di sekitar Jalan Raya Penggilingan
Jakarta Timur sebagai akibat dari modernisasi. Semoga tulisan ini dapat
memberikan cerminan perubahan sosial yang ada di masyarakat.
PENGANTAR
Modernisasi
telah menjadikan Indonesia Negara yang konsumtif. hal ini terbukti dengan
menjamurnya pasar-pasar swalayan asing yang berbentuk waralaba. Pasar swalayan
tersebut dapat dijumpai hampir di setiap kecamatan. Indomart, Alfamart, dan
Mini Market, adalah beberapa bentuk pasar swalayan yang keberadaannya
menyingkirkan pasar-pasar tradisional. Berbeda dengan pasar swalayan yang mampu
melebarkan sayapnya, pasar tradisional justru dianaktirikan. Padahal, pasar
tradisional adalah milik bangsa ini, bukan milik orang asing. Tapi yang
terjadi, masyarakat enggan untuk mengunjungi pasar ini lagi semenjak mewabahnya
pasar swalayan. Bahkan, banyak pasar tradisional yang digusur. Ini jelas
membuktikan, betapa tersingkirkannya pasar tradisional.
Kekhawatiran
akan kelangsungan pasar tradisional pun muncul seiring dengan kehadiran pasar
swalayan yang berkembang dengan pesat. Proses berkembangnya pasar swalayan ini
dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan penduduk,
serta perubahan sosial budaya. Faktor-faktor ini mempengaruhi kualitas dan
kuantitas dalam pardagangan. Keberdaan
pasar swalayan yang dikaitkan dengan keberadaan pasar tradisional membuka
persaingan antara keduanya. Namun, apakah pasar swalayan telah mampu
menggantikan pasar tradisional? Untuk menjawab pertanyaan tersebut harus
dilakukan penelitian dengan mengamatai perilaku berbelanja masyarakat di pasar
swalayan dan pasar tradisional. Studi penelitian ini berlokasi di Jalan Raya
Penggilingan, Jakarta Timur. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena lokasi
ini strategis. Terdapat enam unit swalayan dengan berbagai nama dan satu pasar
tradisional.
Masyarakat
yang tinggal di wilayah Jalan Raya Penggilingan, Jakarta Timur terdiri dari
masyarakat yang beragam, mereka berasal dari berbagai etnis, agama, dan status
sosial yang berbeda. Keberagaman ini dikarenakan banyaknya pendatang yang
tinggal di wilayah ini. Masyarakat yang beragam sudah pasti memiliki kebutuhan
yang beragam pula. Swalayan muncul sebagai jawaban ketika pasar tradisional
tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang lebih beragam.
Keberadaan swalayan tidak hanya menjawab persoalan kebutuhan masyarakat yang
semakin meningkat, namun swalayan justru menjadikan masyarakat lebih konsumtif.
PERUBAHAN KEBUTUHAN DAN PERILAKU
KONSUMTIF MASYARAKAT
Tahun
1970 wilayah Penggilingan masih sepi dari penduduk. Namun, setelah berdirinya
beberapa pabrik, wilayah ini menjadi ramai. Banyak kaum pendatang yang menetap
di wilayah ini untuk bekerja di pabrik-pabrik yang lokasinya memang tidak jauh
dari wilayah ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk yang bermukim
di wilayah penggilingan mengandalkan sebuah pasar yang sering disebut sebagai
Pasar Simpang Tiga. Dinamakan demikian karena pasar tersebut berada di
persimpangan jalan. Karena hanya ada satu pasar, maka perilaku berbelanja
masyarakat pada saat itu jauh dari perilaku konsumtif. Hal ini diamini oleh Dimin, pria tua yang
sudah hampir sepuluh tahun berdagang di Pasar Simpang Tiga “Dulu, orang belanja alakadarnya, maksudnya yang dibutuhin aja, Neng.
Beda ama orang sekarang. Kalo sekarang mah, orang belanja bukan untuk yang dia
perluin, Cuma bakal ngabisin duit…!”
Keterbatasan
akan sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat di wilayah ini dimanfaatkan oleh
para pebisnis, banyak dari mereka yang melirik wilayah ini sebagai tempat
membuka usaha. Tak mengherankan jika saat ini banyak tumbuh pertokoan atau
usaha lainnya di sepanjang Jalan Raya Penggilingan.
Dibandingkan
dulu, kini jumlah penduduk Penggilingan mengalami peningkatan. Peningkatan
jumlah ini juga mempengaruhi tingkat kebutuhan masyarakat. Perubahan penduduk
Indonesia tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada kualitas dan kualitas
penduduk yang saat ini nampak sangat berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh
perkembangan zaman yang membuat teknologi semakin maju. Kemajuan di bidang
teknologi memberikan dampak positif dan negatif.
Perubahan
jumlah penduduk Penggilingan mempengaruhi kebutuhan hidup mereka terhadap
barang dan jasa yang dihasilkan produsen. Masyarakat menjadi terbiasa dengan
segala sesuatu yang praktis, karena lebih efisien dan efektif. Masyarakat
membutuhkan, maka produsen siap menyediakan. Dengan begitu, produsen
berlomba-lomba melahirkan inovasi, salah satunya inovasi dalam cara penjualan dan
cara penyaluran barang yang baru. Keduanya merefleksikan sebuah etika baru
dalam melakukan konsumsi. Semua itu muncul dengan tujuan untuk mempertahankan
budaya konsumtif dari masyarakat modern. Seperti pasar swalayan, secara
keseluruhan para pemilik dan para pengelola terlihat menciptakan “istana
konsumsi” yang akan memperdulikan dua hal, yaitu rasa dari kaum borjuis dan
mendefinisikan rasa tersebut ke dalam proses.
Di sepanjang
Jalan Raya Penggilingan terdapat enam unit swalayan dengan berbagai nama. berkembangnya
pasar swalayan di wilayah ini seakan menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya
hidup modern pada masyarakat Penggilingan. Swalayan tersebut menjanjikan tempat
belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun di balik
kesenangan tersebut ternyata menumbuhkan perubahan pola perilaku masyarakat
penggilingan. Masyarakat menjadi konsumtif.
Pasar
swalayan melakukan cara pendefinisian gaya mewah dalam kehidupan, mereka
menciptakan kebutuhan baru dan mensugesti bagaimana kebutuhan-kebutuhan
tersebut dipuaskan. Dengan sistem manajemen yang seperti itu, maka dapat
dikatakan bahwa pasar swalayan merupakan bagian dari industrialisasi yang
meninabobokan masyarakat ke dalam perilaku konsumtif. Konsumsi menjadi sebuah
cara dalam mengekspresikan lebih dari status yang diinginkan, ini juga
mengekspresikan perilaku seseorang terhadap budaya dominan kaum borjuis. Jika
dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan
menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah kebawah. Para
pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.
“Saya biasanya kalo
belanja udah dicatetin apa aja yang pengen dibeli, tapi kadang-kadang kalo lagi
ada promo di swalayannya jadi nambah belanjanya. Waktu itu saya juga pernah
dapet voucher belanja di sini, Mbak. Saya sih tau, itu akal-akalan swalayannya
aja. Biar kita mau belanja banyak. Yang gak dibutuhin dibeli juga. Akhirnya sih
kepake juga barang yang dibeli. Tapi kalo udah nyampe rumah nyesel aja gitu…!
Herannya udah sering begitu, tetep aja diulangin. Udah kebiasaan kali, jadi
suka belanja, Mbak…!” Demikianlah penuturan Asri yang
sedang berbelanja di Indomart. Ibu dua anak itu menyadari bahwa promo-promo
yang diberikan di swalayan merupakan salah satu cara untuk menarik pelanggan.
Namun, dirinya seakan dimanjakan dengan promo-promo tersebut, sehingga menjadi
terbiasa.
Kasus di atas
adalah salah satu bukti bahwa, keberadaan swalayan meningkatkan perilaku
konsumtif masyarakat. Bagi mayarakat, perilaku konsumtif adalah penyakit yang
harus dimusnahkan. Penyakit ini bernama “inpulse buying”. Walaupun masyarakat
mengetahui dampaknya, namun mereka tidak kuasa untuk melawannya. Penyakit ini
adalah musuh utama bagi para penentang perilaku konsumtif. lain halnya dengan
para paritel atau pengusaha toko swalayan yang sengaja memelihara dan
mengembangbiakan penyakit tersebut. Bahkan rencananya, PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (Alfamart) akan membuka 400-500 gerai baru di
tahun ini.[1]
PERSAINGAN
PASAR SWALAYAN DAN PASAR TRADISIONAL
Jika
dilihat dari segi managemen dan penggunaan teknologi, memang pasar swalayan
lebih unggul jika dibandingan dengan pasar tradisional. Namun, dari segi aura
natural pasar tradisional lebih unggul. Sebagai contoh, pasar tradisional
menyajikan sayuran dan daging yang segar, tidak ada pengawetan seperti yang
dilakukan pada pasar swalayan.
Pasar swalayan adalah tempat berbelanja barang
kelontong dan bahan pokok yang tahan lama, sedangkan pasar tradisional adalah
temapt untuk berbelanja bahan pokok yang tidak tahan lama. Hal ini ditegaskan
oleh Yati, seorang pengunjung Alfamart. “Kalo
biasanya orang-orang belanja di pasar buat beli sayuran, bumbu dapur, lauk.
Terus kalo belanja di sini (Alfamart) untuk beli barang- barang kelontongan,
ama beli bahan makanan yang agak tahan lama gitu, kaya gula, susu, teh, kopi,
cemilan, detergen, banyak sih...!”
Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dominasi
pasar tradisional dalam perdagangan barang-barang kebutuhan sehari-hari
berkurang, seiring dengan keberadaan pasar swalayan. Meskipun pasar swalayan
lebih unggul jika dilihat dari segi teknologi dan managemen, namun pasar
swlayan belum mampu sepenuhnya untuk menggantikan pasar tradisional. Nampaknya
harus dilakukan pemberdayaan pasar tradisional agar tidak kalah dalam persaingan
dengan pasar swalayan. Pasar tradisional harus memiliki badan pengelola
managemen. Jika perkembangbiakan pasar swalayan dibiarkan, tanpa adanya
perbaikan pola managemen pasar tradisional, maka pasar tradisional akan
kehilangan konsumennya. Seperti yang terjadi pada Pasar Simpang Tiga. Fenomena ini menunjukan bahwa, minat
berbelanja masyarakat Penggilingan terhadap pasar tradisional sudah mulai
turun. Berbeda dengan yang terjadi di pasar swalayan, yang mengalami situasi
sebaliknya. Pasar swalayan lebih ramai didatangi pengunjung.
Pola
pemenuhan kebutuhan konsumen atas barang dagangan yang ditampilkan mulai
berubah, hal tersebut dikarenakan masyarakat lebih mengutamakan situasi dan
kondisi tempat berbelanja kebutuhan yang akan dibeli. Pasar swalayan yang
begitu menarik dan kreatif dalam pola pemasaran barang-barangnya, menjadikan
pasar swalayan tempat yang dituju, walaupun tidak semua komoditi tersedia. Hal
ini memperlihatkan adanya gengsi yang akan didapat jika berbelanja di pasar
swalayan. Berlawanan dengan pasar tradisional yang identik dengan
kesederhanaan, namun dari segi kwalitas barang jauh lebih baik.
“Kalo kata saya sih lebih enak
belanja di swalayan, Mbak. Soalnya tempatnya enak, bersih, gak ribet kaya di
pasar (pasar tradisional). Kadang kalo lagi ujan di pasar becek, tapi kalo
belanja di sini (Indomart) kan gak becek. Udah gitu, kita bisa milih sendiri
barang yang pengen dibeli, gak ribet nyarinya. Tapi enaknya di pasar, kita bisa
nawar, Mbak.” Tukas Hesti, pengunjung Indomart.
KESIMPULAN
Di
Indonesia, ritel modern seperti swalayan, memang memberikan manfaat, namun
keberadaannya ritel modern mematikan toko-toko tradisional. Selain itu, ritel
modern juga tidak memiliki kontrribusi pada perkembangan UKM, bahkan justru
mematikan. Hal tersebut terkait dengan trend pergeseran kebiasaan konsumen. Dari data Asosiasi Pedagang Seluruh
Indonesia (APSI) menyebutkan bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional tutup
setiap tahunya. Tampaknya, pemerintah harus membuat landasan dalam pengelolaan
system ritel modern, agar tidak memusnahkan eksistensi toko-toko tradisional.
Persoalan
di atas, menunjukan kurangnya peran pemerintah dalm pengaturan dan pengelolaan
ritel di Indonesia. Meskipun sudah ada peraturan dan kebijakan yang terkait
dengan dengan ritel, seperti SKB Menperindag dan Mendragi No. 145/MPP/Kep.5/1997
tentang penataan dan pembinaan pasar dan pertokoan, kepmenperindag No.
261/MPP/Kep. 10/1997 yang menjadi rujukan teknis penataan dan pembinaan pasar dan pertokoan, namun tetap saja tidak
memberikan sinyal positif bagi terciptanya keseimbangan antara ritel modern dan
ritel tradisional.
KEPUSTAKAAN
Damsar. Sosiologi
Ekonomi. 2002. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tabozzi, Frank,J. Pasar dan Lembaga Keuangan. 1999. Jakarta: Salemba Empat.
Winardi. Kapitalisme
Versus Sosialisme:suatu Analisa Ekonomi Teoritis. 1986. Bandung: Remadja
Karya.