Dapatkah
anda menjawab, agama budayakah atau agama langitkah? Setiap keyakinan memiliki
paham tersendiri tentang konsep Tuhan dalam sistem persembahannya. Oleh
karenanya masih bisakah agama-agama itu disebut sebagai agama langit, yang
diyakini keseluruhannya merupakan kemauan Tuhan. Lalu jadilah agama-agama itu
sebagai agama budaya juga. Pembagian menjadi agama langit dan agama budaya pun
sering menimbulkan diskusi yang tak bertitik. Pengelompokan agama langit dan
agama budaya masih menyisaakan kesan mendalam karena suatu anggapan, yaitu apa
pun nama Tuhan mereka, pada hakikatnya Tuhan hanya ada satu.
Tuhan
adalah wujud dari kesadaran supranatural bagi mereka yang meyakininya.
Eksistensi Tuhan sulit untuk ditampik keberadaannya. Termasuk oleh mereka yang
selama ini menyatakan dirinya seorang atheis. Tapi ternyata mereka -orang yang
anti Tuhan- tidak menolak eksistensi Tuhan. Seperti pandangan Karl Marx,
Freidrich Nietzche, Ernst Bloch, dan Hegel terhadap agama. Ungkapan Marx bahwa
agama adalah produk alienasi atau agama sebagai sumber alienasi yang dipaparkan
Hegel, tidak berarti bahwa mereka menolak keberadaan Tuhan dan Agama. Ini
menumbuhkan suatu pandangan bahwa manusia yang tidak perlu merasa beragama
untuk berjumpa dengan Tuhan. Argumen ontologis menunjukkan bahwa Tuhan berarti perfect
being, wujud yang sempurna. Kesempurnaan itu merupakan kombinasi dari
kekuasaan, kebaikan dan realitas yang sempurna pula.
Muncul
pertanyaan yang mendasar, mungkinkah manusia bisa mengenal Tuhannya tanpa melalui
lembaga keagamaan? Manusia memiliki bagian yang paling fundamental yaitu
intelejensi, perasaan dan kehendak (Frithjof Schuon). Intelejensi ditempatkan
dalam bagian yang paling penting. Karena dengan memahami intelejensi sebagai
sesuatu yang ada dalam diri kita, maka akan ditemukan realitas absolut yang
mahabaik dan berkuasa. Walaupun tidak dapat dicapai melalui kehendak Tuhan
tetapi kita harus menyadari hal tersebut bisa dicapai melalui cinta dan
kebajikan Tuhan. Inilah yang diyakini sebagai “iman”. Iman merupakan proses
dialektis antara duniawi dan transenden, yang sifatnya mendasar dan individual
sehingga tidak dapat diukur secara kuantitatif.
Iman
secara personal bisa dipahami sebagai pengalaman religius yang mendalam dari
seseorang, pengaruh dan akibat-akibat dari yang transenden terhadap seseorang.
Jadi, dapat disepakati bahwa fenomena bertuhan tanpa agama, bukanlah sesuatu
yang aneh. Karena fenomena ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap
institusi agama yang kerap mendukung tercipta dan berkembangnya diskriminasi.
Apalagi manusia, secara lahiriah memiliki kapasitas untuk langsung
berkomunikasi dengan Tuhan tanpa melalui institusi agama. Dan fenomena
munculnya manusia yang bertuhan tanpa agama harus dimaknai sebagai bentuk
kritik terhadap tereduksinya peran agama oleh kepentingan pribadi pemuka agama.
Berthran
Russell, seorang filosof yang memiliki figur pemikir bebas ini menulis buku
yang provokatif tentang filsafat, sains dan agama yang diberi judul Bertuhan
Tanpa Agama. Buku ini memaparkan wujud penolakan keras terhadap akar-akar
fundamentalisme, dogmatisme irasionalisme yang ada dalam agama.
Dalam
buku ini Russell secara habis-habisan mengkritik agama, namun bukan berarti ia
adalah orang yang anti agama secara keseluruhan. Justru, ia merupakan seorang
yang sangat memperhatikan agama, memiliki keprihatinan terhadap agama, dan
memiliki harapan serta dorongan yang kuat terhadap berfungsinya agama-agama
bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan. Dalam kritiknya ia meyakini dua hal
yang utama, yaitu kecenderungan besar agama-agama untuk lebih mengedepankan
dogma yang seringkali menjadi penghalang bagi pertumbuhan akal budi, dan kedua,
kecenderungan praksis sosial agama yang lebih banyak menimbulkan pertentangan,
perpecahan, perang dan penderitaan manusia sebagai akibat dari upaya
mempertahankan dogma beserta klaim-klaim akan satu-satunya kebenaran yang
mengungguli serta meniadakan kebenaran yang lain.
Dalam
konteks Indonesia, kritik dan saran Russell terhadap agama-agama dapat
dijadikan referensi untuk belajar menata kembali wajah agama-agama yang lebih
manusiawi, dan lebih menghargai hak hidup manusia. Walaupun memiliki banyak
perbedaan, tidak perlu ada diskriminasi dengan alasan bahwa yang lain itu tidak
lebih benar daripada yang dianutnya.