Apa yang tidak
terlihat mata, tak akan pernah ditangisi oleh hati....
Si
anjing liar dengan keberanian dan kekuatannya, si rusa betina dengan
kelembutan, intuisi, dan keanggunannya. Pemburu dan buruan bertemu dan saling
jatuh cinta. Sesuai hukum-hukum alam, yang satu seharusnya menghancurkan yang
lain, tapi dalam cinta tidak ada baik atau buruk, tidak ada pembuatan atau
penghancuran, yang ada haanyalah gerakan. Dan cinta mengubah hukum-hukum alam.
Di
padang-padang tempatku dilahirkan, anjing liar dilihat sebagai makhluk feminin.
Sensitif, pandai berburu karena telah mengasah nalurinya, tapi juga hati-hati.
Dia tidak menggunakan kekuatan semata-mata, tapi juga strategi. Berani,
hati-hati, cepat. Dia bisa berubah dalam sedetik dari keadaan santai ke keadaan
siap menerkam mangsa.
Sedangkan
rusa betina memiliki atribut lelaki dalam hal kecepatan dan pengenalan bumi.
Mereka berdua berjalan bersama di dunia simbolis mereka, dua makhluk berbeda
yang telah saling menemukan, dan kerena mereka telah mengatasi sifat-sifat
alami mereka dan penghalang-penghalang mereka, mereka membuatnya menjadi
mungkin. Dari dua naluri yang berbeda lahirlah cinta. Dalam kontradiksi, cinta
semakin kuat. Dalam konfrontasi dan transformasi, cinta bisa bertahan.
***
“Haruskah
selalu kuceritakan mitos Mongolia itu, biar kau tak meremehkan aku,
biar kalian tau bagaimana cinta tanpa harus ‘memperbudak’ atas nama agama?!”
“Dengan
menanyakan hal itu padaku, tidakkah kau berpikir bahwa kau tidak mengerti apa
yang kau ceritakan?!”
“Kau
tak akan pernah mengerti cara berpikir rusa yang punya sifat keanjingan! Karena
isi otakmu hanya sebatas apa yang kau lihat!”
“Kau
terlalu banyak menelan novel-novel itu, yang isinya hanya kegaulan penulisnya
yang tak pernah tuntas. Persetan dengan rusa yang keanjing-anjingan dan anjing
yang kerusa-rusaan, omong kosong!”
“Toh
nyatanya, ada ibu yang memiliki sifat kebapakan, dan sebaliknya. Yang membuatku
miris, lelaki dihadapanku, ya aku masih menyebutmu lelaki, sama sekali tak
punya sifat kebapakan, apalagi keibuan!”
“Setidaknya
itu nyata, bukan picisan!”
“Jelas
nyata. Binatang pun masih memiliki sifat-sifat manusia. Kau? Sampah!”
“Isteri
macam apa yang menyebut suaminya sampah?! Kau isteri durhaka! Kucerai kau!”
“Atas
nama agama kau mau menikah lagi, atas itu pula kau sebut aku durhaka dan
menceraikan aku. Kau suami durhaka! Sampah! Bangkai anjing!”
Dan,
ketika mereka memutuskan menikah atas nama cinta, namun mereka bercerai atas
nama agama. Setelah perceraian itu, aku memilih menghindar dari kehidupan
keduanya. Bapak telah menikah dengan kembang desa dan memiliki seorang anak
perempuan yang cantik seperti ibunya. Sedangkan ibu memilih untuk memfokuskan
karier di LSM yang mempengaruhi pemikirannya sejak ia masih berkuliah.
Aku
hidup dengan nenek dan kakek, mereka orangtua dari ibuku. Aku memilih tinggal
bersama mereka karena tak ada pilihan yang lebih baik. Jika hidup bersama
bapak, aku harus mengikuti ajaran agama versinya, aku tak mau didoktin untuk
melegalkan poligami (walaupun sebenarnya sudah legal secara agama), dan
ajaran-ajaran lainnya yang membuat leherku seperti dirantai.
Jika
tinggal bersama ibu, aku pasti diharuskan menceplungkan diri di LSM-nya,
membaca buku-buku yang bukan seleraku, menggaung-gaungkan kesetaraan gender,
menolak diskriminasi terhadap perempuan dan hal-hal politis yang tak kumengerti dan
tak sempat kupikirkan. Yang sampai sekarang ada dipikiranku adalah bagaimana
dua manusia dengan kehidupan yang bertolak belakang (bapak dan ibu) dapat bersatu? Cinta? Kalau
saja benar karena itu, tak mungkin mereka berpisah dengan cara yang tragis.
Setelah
setahun kelulusanku dari bangku SMA, kakek meninggal, sebulan kemudian disusul
nenek. Mereka pergi setelah merasa tugasnya selesai. Benar sekali, sudah
saatnya aku mandiri. Aku tak mau bergantung pada siapapun.
Aku
memutuskan bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran cepat saji. Sempat berpikir untuk melanjutkan pendidikan, namun melihat penghasilan yang tidak
seberapa membuatku mengubur keinginan itu. Beberapa kali ibu menawarkan ingin
membiayai pendidikanku, namun tawaran itu tidak secara cuma-cuma, ia
mengharuskanku belajar ilmu politik. Aku menolak. Sedangkan bapak seolah tak
peduli aku mau jadi apa. Itulah pesona perempuan kedua, membutakan lelaki yang
tak buta.
Dalam
kemandirian dan kesulitan hidup seperti ini membuatku semakin mengerti banyak
hal. Tentang (yang disebut nenek dan kakek sebagai) cinta. Kakek dan
nenek tidak mengenyam pendidikan dan tidak mendalami ilmu tertentu tapi
mereka bahagia. Nenek mengatakan pernikahan dengan kakek adalah sebuah
perjodohan. Mereka tak saling mengenal, apalagi cinta. Seiring berjalannya
waktu cinta itu tumbuh karena keterbiasaan. Tak ada dominasi di antara mereka.
Tak pernah ada kata “maaf” dan “terimakasih” terucap dari bibir mereka, karena
cinta selalu mengerti. Saat kutanya apa arti cinta bagi mereka, wajah merona
selalu menjawab, seolah kata itu masih menjadi tabu untuk ditanya. Tapi itu
membuatku mengerti bahwa jika kita mencoba memahaminya, cinta akan meninggalkan
kita dalam kebingungan. Ketika senyum bisa menebarkan cinta, untuk apa repot-repot
meneorikan cinta.
***
Tentang
(apa yang ibu sebut sebagai) kehormatan. Sejak SMA aku sudah melihat bagaimana
teman-temanku merasa kehilangan kehormatan karena hamil sebelum menikah, dan
teman-teman yang lain menghakimi tanpa sedikitpun rasa hormat. Lantas, aku
mulai berpikir, apa itu kehormatan, kapan ia muncul dan untuk apa digunakan?
Aku bertanya-tanya, tapi tak berusaha mencari, karena aku ingin ia datang
dengan sendirinya.
Suatu
hari aku berciuman dengan pacarku, kami melakukan itu saat baru sebulan
berpacaran. Itu untuk kali pertama dan terakhir kami melakukannya, karena
berita tindakan kami sampai ke telinga bapakku. Sesampainya di rumah tangan
kanan bapak mendarat di pipiku.
“Dasar
anak tidak tau malu, beraninya kau melakukan itu! Jangan pikir aku tidak tau
kelakuanmu. Teman-temanmu menceritakan tindakanmu pada orangtuanya, dan
orangtuanya mengadukan hal itu padaku! Kau tidak tau malu dan membuatku malu!
Sebagai perempuan kau harusnya menjaga kehormatanmu!”
“Aku
masih menjaganya, Pak!”
“Tidak,
kau kehilangan kehormatanmu dan Bapak juga kehilangan itu. Bapak malu, Nak!”
“Jadi
yang Bapak pikirkan kehormatanku atau kehormatan Bapak?”
Sekali
lagi tamparan mendarat di pipiku. Entah kenapa tamparan itu membuatku semakin
dingin menghadapinya. Bapak memang sering main tangan, kurasa ibu yang paling
kenyang merasakan kasarnya tangan bapak. Setiap melihat ibu dipukuli olehnya
aku hanya bisa menyembunyikan tubuhku di pojok kamar dan berusaha untuk
mengatur napas, itu yang diajarkan oleh ibuku supaya aku tak menjadi sasaran
amuk bapak.
“Bapak
mengajarkan ilmu agama padamu supaya kau jadi anak yang beradab. Bapak ini
pemuka agama, Nak! Kau mencoreng mukaku!”
“Intinya,
bukan kehormatanku yang hilang, tapi kehormatan Bapak! Di mataku, kehormatanmu
sudah hilang. Setiap kau pukul Ibu semakin luntur kehormatanmu, baik sebagai
suami, bapak atau yang kau sebut sebagai pemuka agama!”
“Anak
durhaka! Otakmu pasti sudah diracuni Ibumu!”
Sebelum
tangan bapak menyentuh pipiku lagi, Ibu datang dan membelaku. Awalnya ini
adalah permasalahanku dengan bapak, kini menjadi masalah bapak dan ibu. Bapak
menyebut ibu gagal mendidiku, ibu mengatakan bapak yang tidak becus memberi
contoh pada anak. Mereka saling menyalahkan. Sementara itu aku merenung.
Ketika
dua orang yang sedang mabuk cinta, mereka merealisasikannya melalui tindakan, kemudian
jika tindakan tersebut berakibat buruk, mereka merasa kehilangan kehormatan. Tapi
jika tidak berdampak yang merugikan, mereka menganggap itu surga cinta. Pun
dengan orang-orang yang membicarakan hilangnya kehormatan seseorang, mereka
mendahului kuasa Tuhan, bahkan menjadi Tuhan. Tidakkah tak satupun dari kita
pernah memiliki kehormatan?
Beberapa
tahun setelah kejadian itu, aku bertemu dengan seorang pria yang mengenalkan
kehormatan padaku. Dia memberikan sebuah novel karya Paulo Coelho, The Zahir.
Buku itu menjembatani pertemukanku dengan kehormatan, seperti pencarian seorang
suami untuk menemukan isterinya yang hilang, takdirlah yang menjadi jembatan di
antara keduanya, seperti yang dikisahkan dalam The Zahir.
Pria
yang memberiku buku semakin membuatku yakin apa itu kehormatan, adalah
kebebasan untuk memilih apa yang kita inginkan, lalu mencurahkan seluruh jiwa
dan raga untuk keputusan itu. Jadi, jika kita menyesalinya itu karena kita
tidak mengabdikan jiwa dan raga sepenuhnya, demikianlah yang membuat kehormatan
kita tercabik-cabik. Walau pada akhirnya aku kehilangan pria itu, dan harus
mengalah pada takdir, aku tak pernah menyesalinya, karena tak ada hal yang
patut disesali. Cinta, kekuatan yang tak akan pernah ditundukkan. Jika kita
berusaha mengendalikannya, cinta akan menghancurkan kita. Kalau kita berusaha
mengurungnya, cinta akan memperbudak kita. Maka kubebaskan ia....
***
Tentang
(apa yang bapak katakan sebagai) tunduk. Tak mungkin tak ada pencipta jika ada
pengrusak, namun hanya kepada penciptalah kita harus tunduk, padahal setiap
diri kita memiliki jiwa pengrusak. Bagaimana mungkin mudah bagi pengrusak untuk
tunduk pada pencipta hanya karena apa yang telah ia ciptakan. Jika ia ingin
kita tunduk, kenapa ia menciptakan kita dengan jiwa pengrusak.
Seperti
bapak yang mengaharuskanku untuk patuh padanya, tanpa boleh menimbang-nimbang
apa yang ia putuskan untuk keluarga kami. Aku merasa tak diberi ruang untuk
memanfaatkan akalku. Jika harus seperti itu, untuk apa ia menyekolahkanku,
memintaku untuk selalu berpikir dalam segala tindakan. Tidak hanya padaku, tapi
juga pada ibuku. Menurut bapak, kami sebagai perempuan harus tunduk pada
laki-laki. Ya, tunduk. Seperti apa? Seperti ketika bapak mengatakan pada ibu
ingin menikah lagi, ibu tak boleh menolak untuk dipoligami, namun dari sekian
banyak perlakuan buruk bapak hanya itu yang tak bisa ibu terima, setelah
pertengkaran panjang akhirnya bapak menceraikan ibu dengan alasan isterinya
tidak mampu memenuhi kewajiban, termasuk kewajiban untuk menerima dipoligami.
Aku
berharap ibu bisa membangkang sejak dulu, karena aku tak tahan melihat
perlakuan bapak padanya. Pernah suatu hari aku melihat bapak memukul ibu hanya
karena ibu menolak membuatkan makan malam untuk bapak. Ibu menolak bukan tanpa
alasan, saat itu ibu sedang sakit. Kemudian saat bapak keluar untuk membeli
makanan, aku menemui ibu di kamar. Berusaha menenangkan dan memprotesnya karena
tak mau melawan bapak.
“Nak,
Ibu selalu punya alasan atas apa yang Ibu putuskan. Saat Ibu memutuskan untuk
tidak melawan bukan karena Ibu takut. Ibu mempertimbangkan kondisimu, Ibu tak
mau kau menjadi korban. Kau masih terlalu kecil, belum banyak mengerti tentang
permasalahan orang dewasa, Nak. Jika Ibu melawan, apa bedanya Ibu dengan Bapakmu.
Bapak memperlakukan Ibu seperti ini karena tidak peduli bagaimana perasaan Ibu,
hanya mementingkan ego. Jika Ibu melawannya, itu artinya Ibu tak peduli
denganmu.”
“Aku
tidak mengerti, Bu.”
“Kelak,
kau akan paham.”
Setelah
mereka berpisah, aku baru paham. Ibu berusaha melampaui batas ketahanan dirinya
sampai aku dewasa dan bisa menerima realita perkawinan mereka. Kurasa, bapak
memutuskan untuk menikah lagi juga di waktu yang tepat, ketika aku sudah bisa
menerimanya sebagai lelaki dan (bukan) sebagai seorang bapak.
Pelajaran
berharga untukku, bahwa kadang kala kita harus tunduk sampai kondisi memungkinkan
kita untuk membangkang, atau jika kita tidak kuat melampaui batas ketahanan
diri, maka kita sendiri yang harus menciptakan kondisi itu. Di saat seperti
itulah kita tak akan pernah menyesali keputusan yang telah kita pilih.
***
Tentang
cinta, kehormatan dan tunduk, mungkin ketiganya tidak memiliki keterkaitan,
mungkin juga saling terkait, tergantung bagaimana kita melihatnya. Dari sudut
pandangku ketiganya saling terkait. Seseorang bisa jatuh cinta dengan yang
lainnya, melalui kehormatan cinta itu dapat dibangun dan dipertahankan. Namun
ketika salah satu pihak ingin membuat tunduk pihak lainnya, maka cinta yang
dibangun dapat hancur seketika.
Seperti
cintaku kepada si pemberi buku, yang dibangun dan dipertahankan meski kami tak (akan)
lagi bertemu, dan aku tak peduli apakah ia memiliki perasaan yang sama atau
tidak. Aku tak pernah melihat perwujudan cinta dalam tindakannya, maka aku tak pernah
merasa terluka karenanya, karena apa yang tidak terlihat mata tak akan pernah
ditangisi oleh hati.
Orang
lain berpikir kisahku sangat tragis. Orangtua bercerai, pria yang kucintai
pergi dan tak memiliki tempat bergantung. Yang paling menyedihkan bagi mereka
adalah kesendirianku.
“Pikiran
yang sangat drama,” ucapku menanggapi ibu kos yang mengutarakan
keprihatinannya.
“Ini
lebih drama dari drama-drama Korea yang pernah kutonton, Nak. Sejak kecil kau
sudah bersentuhan dengan masalah-masalah orang dewasa. Itulah yang membuat
hidupmu kini penuh kesendirian.”
“Bu,
tak seorang pun sendirian dalam masalah-masalah mereka. Selalu ada orang yang
berpikir, bergembira atau menderita sepertiku, bahkan lebih, dan jujur saja itu
memberiku kekuatan untuk menghadapi setiap masalah.”
“Tidakkah
kau menderita?”
“Bagian
terbaik dari penderitaan adalah ketika aku bisa menerimanya sebagai kenyataan.
Karena penderitaan tak akan lenyap walau aku berusaha menyangkalnya. Bu, suatu kehormatan bagiku dapat menerima penderitaan yang Tuhan hadiahkan, dan kehormatan pula bagi Tuhan jika aku tidak menyangkalnya.”
“Kehidupan
membuatmu dewasa sebelum waktunya, Nak.”
“Setiap
masalah mengajarkanku sesuatu, setiap orang yang kutemui menambah energiku, setiap
buku yang kubaca mengisi jiwaku dan setiap kisah yang kuceritakan mengosongkan pikiranku.
Apakah aku dewasa? Jika kau mau menyelami hidupku, kau akan mengetahuinya.”
****