Metodologi penelitian adalah bagian yang membuat ilmu sosial menjadi
ilmiah. Lalu munculah sebuah pertanyaan “apakah yang peneliti lakukan ketika
meneliti?, bagaimana mereka melakukan
penelitian?”, pertanyaan tersebut bukanlah
pertanyaan yang dapat dijawab secara sederhana. Perdebatan mengenai ilmu sosial
disebabkan oleh definisi yang kaku mengenai ilmu. Pertanyaan lainpun
muncul, “apakah yang membuat sebuah penelitian ilmiah itu menjadi ilmiah?”.
Ada tiga pendekatan dalam penelitian sosial berdasarkan asumsi filosofis
berbeda tentang tujuan ilmu pengetahuan dan sifat realita sosial. Ketiga
pendekatan tersebut memiliki jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan dasar
tentang penelitian. Namun, kebanyakan peneliti hanya menggunakan satu
pendekatan saja, lalu mereka mengombinasikan elemen-elemen dari tiap
pendekatan.
Para tokoh sosiologi klasikal berpendapat bahwa observasi di dunia sosial
yang tepat dan sistematik, digabungkan dengan pemikiran yang teliti dan cermat
dapat menghadirkan jenis pengetahuan yang baru dan bernilai mengenai hubungan
manusia. Namun, beberapa orang lebih tertarik dan memilih ilmu alam dan
mengikuti metodenya. Alasannya sederhana, kemegahan ilmu alam terletak pada
metode ilmiahnya, maka ilmu sosial pun sebaiknya mengadaptasi pendekatan yang
sama. Sebagian peneliti menerima alasan tersebut, tapi hal ini masih memiliki
banyak hambatan. Pertama, pengertian ilmu masih dalam perdebatan, bahkan dalam
konteks ilmu alam. Kedua, banyak ahli mengatakan bahwa manusia sangatlah
berbeda dari objek yang diteliti dalam ilmu alam. Itu berarti, bahwa dibutuhkan
ilmu khusus untuk mempelajari kehidupan sosial masyarakat.
Pendekatan-pendekatan ini serupa dengan program penelitian, tradisi
penelitian dan paradigma ilmiah. Pada umumnya, sebuah paradigama ilmiah
merupakan keseluruhan sistem berpikir yang menyangkut asumsi dasar, pertanyaan
yang penting dijawab, teknik penelitian yang digunakan, dan contoh bentuk
penelitian ilmiah. Tiga pendekatan penelitian sosial tersebut,
yaitu:
1. Pendekatan Positifisme
Positifisme melihat ilmu sosial sebagai metode yang terorganisir untuk
menggabungkan logika deduktif dengan observasi empiris yang tepat mengenai
perilaku individu untuk menemukan dan meyakinkan sebuah hukum sebab-akibat yang
dapat digunakan untuk memprediksi pola umum aktivitas manusia.
Positifisme mengemukaan tujuan utama penelitian sebagai penjelasan ilmiah
untuk menemukan dan mendokumentasikan hukum universal perilaku manusia. Ilmuan
terlibat dalam pencarian pengetahuan yang tanpa akhir. Tuhan lah yang memiliki
pengetahuan, dan manusia ditugaskan untuk menggalinya dan menemukannya.
Positifis memiliki karakteristik dalam pandangannya, yaitu kenyataan itu
nyata, kenyataan itu ada “di luar sana” dan menunggu ditemukan. Kenyataan itu
bukan sesuatu yang acak, hal itu telah terpola dan memiliki aturannya sendiri.
Tanpa asumsi ini logika dan prediksi tidak mungkin ada.
Dalam positifisme, manusia diasumsikan sebagai seseorang yang tertarik pada
diri sendiri, pencari kesenangan, individu yang rasional. Positifis mengatakan
bahwa perilaku manusia atau institusi sosial tidak terjadi hanya kerena kemauan
orang-orang. Kejadian pada manusia dapat dijelaskan menggunakan referensi hukum
kausalitas, yang menjabarkan sebab-akibat.
Positifis melihat korelasi antara ilmu dan akal sehat sebagai berikut, ilmu
meminjam ide dari akal sehat, tetepi ilmu menggantikan bagian akal sehat yang
lemah, tidak konsisten secara logis, tidak sistematis, dan bias.
Penjelasan positifis tentang yang terdapat dalam realitas sosial, bahwa
hukum kausalitas umumnya diaplikasikan untuk mewadahi observasi mengenai
kehidupan sosial. Positifis yakin bahwa pada akhirnya hukum dan teori ilmu
sosial tidak akan diekspresikan dalam sistem simbolik formal, yaitu dengan
aksioma, akibat, postulat, dan teorema.
Positifis menganggap, seseorang dapat mengenali kebenaran dan membedakannya
dari kekeliruan dengan menyediakan alasan dan setelah mengalami perjalanan yang
panjang, kondisi manusia dapat diperbaiki melelui penggunaan alasan dan
penempatan kebenaran. Untuk dipertimbangkan secara serius, harus berpegang pada
dua kondisi. Pertama, tidak bertentangan secara logika. Kedua, harus konsisten
dengan fakta yang diamati.
Pendekatan positfis meyakinkan bahwa pengetahuan faktual tidak didapat
hanya dari observasi dan pemikiran satu orang saja. Ilmu yang membebaskan
penelitian merupakan ilmu yang objektif. Singkatnya, peneliti positifis
menunjukan bahwa sang peneliti memulai penelitian dengan hubungan sebab-akibat
umum yang ia ambil dari hukum kausalitas dalam teori umum.
Pertama-tama peneliti akan membuat hipotesis dari teori umum. Teori dapat
berbentuk pertanyaan biasa atau berupa prediksi. Kemudian peneliti akan
mengumpulkan data statistik atau langsung mengadakan sebuah survei untuk
mengukur dengan tepat faktor-faktor yang diidentifikasi oleh teori. Akhirnya,
peneliti menggunakan statistika untuk menguji prediksinya.
2. Pendekatan Interpretatif
Pendekatan interpretatif merupakan pondasi dari teknik penelitian sosial
yang sensitif terhadap konteks. Pendekatan ini menggunakan metode bervariasi
dalam mengetahui bagaimana orang lain melihat dunia. Selain itu, pendekatan ini
lebih cenderung ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang jelas.
Laporan penelitian interpretatif akan lebih mirip novel atau biografi dari
pada laporan ilmiah pada umumnya. Laporan ini kaya akan deskripsi yang detail
tetapi memiliki abstrak yang terbatas. Melalui teori interpretatif, pembaca
dapat merasakan apa yang benar-benar terjadi dalam komunitas sosial lain dengan
pengungkapan makna, nilai, skema interpretatif, serta peraturan kehidupan yang
digunakan oleh manusia. Dengan demikian teori interpretatif menyerupai sebuah
peta yang menggarisbesarkan dunia sosial.
Realita sosial tidak menunggu untuk ditemukan, kehidupan sosial itu
fleksibel dan rapuh. Pendekatan interpretatif percaya bahwa kehidupan sosial
berdasarkan pada interaksi sosial dan sistem pengartian yang telah
dikonstruksi. Menurut interpretatif, suatu teori dapat dikatakan benar atau sah
apabila teori tersebut berkaitan dengan apa yang sedang diteliti. Teori dan
deskripsi dapat dikatakan akurat apabila peneliti mampu menyampaikan pemahaman
yang mendalam tentang cara orang lain memberikan alasan, merasakan, dan melihat
sesuatu.
Aksi manusia memiliki arti tertentu dalam penelitian interpretatif.
Orang-orang yang memiliki sistem pengartian yang sama membuat mereka
mengartikan satu tindakan sebagai simbol atau aksi sosial yang relevan.
Pencipta arti dan pemahaman realitas hanyalah apa yang orang-orang pikirkan,
dan tidak ada pengartian yang lebih atau paling baik dari yang lainnya.
Pendekatan interpretatif mengatakan bahwa akal sehat adalah sumber vital
informasi untuk memahami orang lain. Akal sehat seseorang dan perasaannya terhadap
realitas disatukan dari orientasi pragmatik dan asumsi terhadap dunia.
Ilmu interpretasi sosial melihat fakta sebagai cairan yang berkeliling di
dalam suatu sistem makna dalam pendekatan interpretatif. Dengan kata lain,
fakta bersifat tidak berat sebelah, objektif, dan netral. Peneliti
interpretatif berargumen bahwa peneliti harus bercermin, meninjau ulang, dan
menganalisa sudut pandang serta perasaan-perasaan tiap individu sebagai bagian
dari proses meneliti orang lain. Peneliti interpretatif tidak mencoba terbebas
dari nilai apapun.
Peneliti akan mengadakan wawancara langsung, mengamati dan mempelajari
masalah yang mendasari segalanya. Peneliti memasukan hasil wawancara ke dalam
konteks masalah. Setelah itu peneliti akan mendeskripsikan hasil temuannya
dalam bentuk laporan yang dapat dibaca orang lain.
3. Pendekatan Kritikal
Tujuan dari penelitian kritikal adalah untuk mengubah dunia. Para peneliti
mengadakan penelitian untuk mengkritik dan mengubah hubungan-hubungan sosial.
Orientasinya adalah aksi. Peneliti kritikal dengan sengaja memunculkan dan
mengidentifikasi masalah. Penelitian kritikal dapat diartikan sebagai konteks
pemberdayaan individu. Pencarian yang mengaspirasikan suara kritikal harus
berkaitan dengan upaya melawan ketidakadilan yang terjadi di lingkungan atau
lapisan sosial tertentu. Penelitian menjadi upaya perubahan yang tidak malu
dilabeli istilah “politik” dan tidak takut untuk dihungkan oleh kesadaran
emansipasi.
Pendekatan kritikal mengasumsikan bahwa realita sosial selalu berubah dan
perubahan itu berdasarkan tekanan, konflik, atau terutama paradoks atau
konflik yang ada ditiap organisasi. Paradoks atau konflik internal semacam
itulah yang dapat mengungkapkan karakter nyata dari realita sosial.
Pendekatan kritikal berargumen bahwa realita sosial memiliki lapisan
ganda. Di balik bagian yang dapat diamati, terdapat struktur dan mekanisme yang
lebih dalam dan tak teramati. Kejadian dan hubungan sosial yang muncul pasti
memiliki struktur atau makna mendalam lain yang mendasari.
Pendekatan kritikal beranggapan bahwa semua orang memiliki potensi yang tak
tersadari. Sifat manusia adalah kreatif, dapat berubah, dan dapat beradaptasi.
Manusia mampu menggali potensi mereka, mau menghalau ilusi mereka dan bergabung
dengan manusia lainnya untuk menciptakan perubahan.
Posisi pendekatan kritikal dalam pikiran sehat didasari oleh ide kesadaran
palsu. Yaitu, di mana orang-orang telah melakukan kesalahan dan bertindak
melawan kata hatinya yang sebenarnya sudah tertuang dalam realita yang
objektif. Realita yang objektif itu berada di antara mitos dan khayalan.
Pendektan kritikal meggunakan praxis untuk memisahkan teori yang baik
dengan teori yang buruk. Pendekatan ini mengaplikasikan teori dalam praktek dan
menggunakan hasil pengaplikasian untuk memformulasi ulang teori. Peneliti harus
berusaha untuk mengurangi jarak (kedekatan) antara peneliti dan mereka yang
sedang diteliti. Pendekatan kritikal mencoba menjembatani masalah objek dan
subjek tersebut. Pendekatan kritikal berpendapat bahwa di dalam fakta terdapat
kemerdekaan bagi tiap sbujek untuk berpersepsi, tapi fakta tidaklah netral
terhadap teori. Fakta justru membutuhkan tafsiran dari kerangkan nilai, teori,
dan makna.
Pendekatan kritikal sering diadopsi oleh peneliti, kelompok komunitas aksi,
organisasi politik, dan pergerakan sosial. Peneliti yang menggunakan pendekatan
ini dapat menggunakan metode historis-komparatif. Hal ini disebabkan oleh
penekanannya pada perubahan dan karena metode ini dapat membantu peneliti
untuk menemukan struktur yang mendasarinya. Para peneliti yang bergelut dengan
metode ini berbeda dari peneliti lainnya. Perbedaannya ada pada teknik
penulisan yang mereka gunakan, cara mereka memecahkan permasalahan penelitian,
jenis pertanyaan yang mereka gunakan, cara mereka memecahkan permasalahan
penelitian, jenis pertanyaan yang meraka tanyakan, dan tujuan mereka melakukan
penelitian.
Penelitian ini dengan melihat keadaan sosial yang lebih luas dan juga
konteks sejarahnya. Peneliti akan melihat faktor-faktor suatu permasalahan.
Lalu peneliti akan melihatnya dari sudut pandang moral. Dokumentasi menjadi
bukti-bukti bagi peneliti. Kemudian menguji informasi statistik. Selain itu,
secara personal peneliti juga akan menguji situasi kehidupan yang ada (survei).
Begitu menemukan bukti peneliti akan mengumumkan penemuannya pada masyarakat
umum. Semua itu dilakukan agar keadaan sebenarnya dapat terungkap dan mampu
mengubah keadaan.