Bertulang Besi Berkulit Kayu:
Eksistensi Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur
Trisna Ari Ayumika
Garis Besar Tulisan
Tulisan ini menguak
eksistensi becak pasca diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun
1988 tentang Ketertiban Umum, yang melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, sehingga
mengantarkan becak ke daerah pinggiran seperti Pasar Cakung Jakarta Timur, dan menjadikan
becak sebagai transportasi yang termarjinalkan. Tujuan tulisan ini dituangkan dalam beberapa hal. Pertama,
menjelaskan bahwa becak merupakan salah satu transportasi publik di Jakarta.
Kedua, menceritakan eksistensi becak di Jakarta, khususnya di Pasar Cakung Jakarta
Timur. Ketiga, menguak hal yang melatarbelakangi pelarangan pengoperasian becak
di Jakarta.
Untuk menggali
dan memperdalam tujuan penulisan tersebut, tulisan ini akan dilengkapi dengan beberapa data
pendukung, di antaranya: (1)
Konteks historis keberadaan becak baik secara umum di Indonesia maupun secara
khusus di Jakarta. (2) Data-data yang merupakan sumber primer didapatkan
melalui wawancara dan kajian pustaka. Metode ini diharapkan dapat menggali
kedalaman dan kekayaan informasi, sehingga informasi tersebut dapat mempertajam
analisa tulisan ini.
Perspektif yang Digunakan
Perspektif yang
digunakan dalam tulisan ini adalah kajian tentang kota yang membentuk proletar
terasing. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu
dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain. Uang adalah tanda keterasingan
manusia. Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia
merealisasikan dirinya dalam pekerjaan, dan pekerjaan itu bisa menggembirakan juga membuatnya bangga
karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasil yang mereka dapatkan,
tetapi pada kenyataanya pekerjaan bagi manusia telah menjadi pekerjaan paksa.
Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin
nafkah hidupnya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaan tidak pernah dirasakannya.
Manusia yang
menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing
karena mereka
terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu
tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif
manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan
hakekatnya yang bebas dan universal. Persaingan dan perjuangan untuk mendapatkan
tempat tempat kerja menimbulkan keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan, yang akhirnya terhadap sesama justru akan menjadi lawan. Hal
demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing
dari lingkungannya.
Perbaikan
kelas-kelas tertindas tidak dapat dicapai melalui kompromi. Perbaikan tidak
dapat diharapkan pula dari perubahan sikap kelas-kelas atas -termasuk pemilik
kekuasaan-. Bagi Karl Marx, hanya ada satu jalan saja yang paling terbuka yaitu
perjuangan kelas. “Sejarah semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah
sejarah perjuangan kelas,” demikian Karl Marx menegaskan dalam bukunya Manifesto
Komunis. Sejarah umat manusia ditentukan oleh perjuangan antara kelas-kelas.
Karl Marx menolak pendapat bahwa individu dengan kehendak individualnya dapat
menentukan arah sejarah. Individu hanya melakukan apa yang merupakan
kepentingan kelas mereka masing-masing. Perjuangan akan sungguh-sungguh apabila
bersifat subyektif, yaitu apabila kelas-kelas yang tertindas menyadari keadaan
mereka, menentangnya dan berusaha untuk mematahkan dominasi kelas-kelas yang
berkuasa. Berkiblat pada teori tersebut, marjinalisasi becak di kota akan
menunjukan betapa mirisnya keterasingan becak di daerah pinggiran kota Jakarta karena kuatnya dominasi kelas tertentu.
Sistematika Tulisan
Secara garis
besar tulisan ini akan menyajikan beberapa bagian, yaitu: (1) Pengantar. Di dalamnya menjelaskan
eksistensi becak di kota Jakarta. Selain itu, pada bagian ini akan dijelaskan
ketertarikan dalam pengkajian tema, serta mengemukakan tujuan dari penulisan.
(2) Becak dan Transportasi Publik. Bagian
ini berisi analisa dan pembahasan. Di dalamnya akan menjelaskan tentang dinamika
transportasi publik di Jakarta. Menguak Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun
1988 tentang Ketertiban Umum, yang antara lain melarang beroperasinya becak di
Ibu Kota. Data-data yang diperoleh akan dicantumkan pada bagian ini. (3) Marjinalisasi Becak di Jakarta. Tidak berbeda dengan
bagian sebelumnya, bagian ini merupakan analisa dan pembahasan tulisan. Menjadi
penting untuk mengungkapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988
tentang Ketertiban Umum, yang antara lain melarang beroperasinya becak di Ibu
Kota, karena peraturan ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat kelas bawah.
Selain itu, peraturan ini juga mempengaruhi perkembangan becak yang beralih ke
daerah-daerah pinggiran perkotaan. (4) Becak
di Pasar Cakung Jakarta Timur. Lebih mendalam lagi, pada bagian ini akan menceritakan
eksistensi becak di Pasar Cakung, Jakarta Timur. (5) Eksisitensi Becak dan Perjuangan Kelas. Melengkapi tulisan ini, maka pada bagian terakhir sebelum penutup,
akan diungkapkan kilas balik perjuangan becak sebagai bentuk perjuangan kelas
supaya tetap mendapatkan tempat di Jakarta. Untuk lebih mempertajam analisa dan
pembahasan, pada bagian ini akan disertai dengan perspektif Karl Marx tentang
keterasingan dan perjuangan kelas sebagai bagian dari pencapaian tujuan kaum
proletar. (6) Penutup. Bagian
terakhir ini berupa beberapa catatan penting dari elaborasi yang dilakukan
sebelumnya dalam tulisan ini. Bagian ini juga akan memaparkan sikap penulis
terhadap fenomena yang dibahas dalam penulisan ini.
Bahan Bacaan
1. Paule Johnson
Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1. Jakarta : PT Gramedia.
2. Paule Johnson
Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2. Jakarta : PT
Gramedia.
3. Karl Marx. 1992. Kapital
2. Jakarta: Hasta
Mitra.
4. Karl Marx. 1981. Kapital
3. Jakarta: Hasta
Mitra.