Saya yakin, tidak ada sesuatu
yang dikatakan sebagai budaya tanpa ada pembiasaan sebelumnya. Maka dari itu, tulisan
ini tidak menekankan pada ‘budaya’ apa yang harus dimiliki oleh suatu golongan
supaya dapat terwujud nilai yang dicita-citakan, saya lebih tertarik melihat bagaimana
budaya dapat terbentuk dengan ‘revolusi’. Salah satu cara yang saya soroti
adalah pembiasaan. Sebagian besar masyarakat kita
sepakat bahwa agama merupakan bagian dari budaya. Namun, (mungkin) tidak banyak
orang yang setuju jika saya katakan eksistensi agama tetap hidup karena
pembiasaan. Berawal dari kebutuhan untuk mempercayai bahwa ada yang menciptakan
manusia dan alam semesta, kebutuhan untuk mengendalikan pihak lain dan
kebutuhan untuk membuat kehidupan berjalan dengan stabil, akhirnya dibuatlah
aturan-aturan. Dibuat, diterima, diterapkan secara kontinyu (pembiasaan),
dibakukan, kemudian dibungkus dengan nama agama.
Pun dengan sopan santun yang
diklaim sebagai budaya bangsa, masih hidup karena pembiasaan. Seperti mencium
tangan orang yang lebih tua, atau mengucapkan salam saat bertemu orang lain. Sama
halnya dengan agama, aturan mengenai apa yang dianggap sopan dan tidak sopan
lahir karena adanya kebutuhan, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Jika
tidak mengikuti apa yang telah disepakati masyarakat tentu ada sanksi yang
didapat, karena itu yang membuat 'agama' dan 'sopan santun' masih kita lihat
sampai sekarang.
Dalam pembentukan sebuah budaya
(disadari atau tidak) sanksi adalah "bahan pengawet" yang wajib ada.
Tanpa adanya sanksi, pembiasaan tidak akan berjalan, karena pada dasarnya
tingkat kesadaran seseorang bersifat individual, tidak bisa langsung kolektif.
Yang membuat kesadaran mencapai titik kolektif adalah ketika “keseluruhan”
kepercayaan dan sentimen bersama tumbuh.
Maka dari itu, perlu adanya
aturan (untuk mengontrol masyarakat agar tetap berada pada posisinya) dan
sanksi (untuk mengembalikan mereka yang berusaha keluar dari jalur). Sistem
seperti itu perlahan akan membangun sentimen bersama. Ketika ada seseorang yang
keluar jalur, masyarakat sepakat menganggapnya bersalah. Bukan semata tindakan
menghakimi, tapi upaya menyelamatkan sebuah sistem yang sudah mereka bangun
bersama.
Saya punya contoh kasus
berkaitan dengan bagaimana suatu (yang dianggap) budaya terbentuk karena
pembiasaan. Saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai korupsi di Hongkong
pada masa lalu. Bahkan ada pernyataan bahwa semua orang Hongkong korup, tapi lembaga
kepolisian yang paling korup. Kepolisian Hong Kong pernah menjual stiker
seharga $3 yang dapat membebaskan pengemudi dari pelanggaran lalu lintas.
Stiker tersebut hanya berlaku sebulan dan dapat diperbaharui. Jelas, ini
menjadi pemasukan paling besar bagi kepolisian saat itu.
Korupsi yang lahir dan
berkembang di Hongkong karena adanya peluang dan pembiasaan, bahkan dilakukan
pula oleh lembaga penegak hukum. Di sini saya melihat masyarakat hanya sebagai
korban (yang ikut serta secara aktif) dalam ketidakberesan sistem. Ketika
sebuah lembaga penegak hukum dan masyarakat sudah dininabobokan oleh “kenyamanan”
tersebut, rasanya bukan hal yang mudah untuk membalikan ‘pembiasaan korupsi’
menjadi ‘pembiasaan anti korupsi’. Tapi, itu bukanlah hal yang tidak mungkin.
1974, Independent Commission
Against Corruption (ICAC) lahir, lembaga ini tidak jarang menggunakan cara
koersif untuk membabat habis mereka yang dianggap korup. Tidak butuh waktu lama
untuk membuat ratusan pejabat (yang terbukti korup) mundur dari jabatannya.
Singkat cerita, Hongkong berhasil melakukannya. Di sini saya melihat revolusi bukan
isapan jempol belaka. Bagaimana dengan budaya? Budaya akan terbentuk dengan
sendirinya jika sudah ada pembiasaan melalui aturan dan sanksi yang ajeg.