Singkong, Gandum dan Peluncuran Jurnal*

Maret 24, 2015

Makan singkong pagi ini membuatku ingat ketika aku mengantarkan istriku ke acara yang dia ikut tampil di dalamnya. Ia membacakan narasi. Aku tak tahu acara utamanya apa di tempat itu, sepertinya diskusi atau seminar yang menemani launching jurnal terbaru dari Yayasan Bina Desa. Banyak aktivis LSM yang kutemui di sana juga aktivis gerakan bahkan ada juga Happy Salma. Hahaha..., tampaknya menarik sekali acara ini.

Di sana aku membaca sebuah artikel gratis yang tergeletak di meja, judulnya “Kenapa Tidak Gandum?” tampaknya menarik sebab di salah satu adegan yang dipentaskan oleh kelompok yang istriku main di dalamnya menceritakan tentang pertarungan gandum dan ganyong. Awalnya aku tidak mengerti bagaimana mungkin ada makanan yang yang dipertarungkan dan itu menyebabkan budaya dan perekonomian suatu negeri dapat terkena dampaknya. Halah... terlalu jauh itu orang mengait-ngaitkan, begitu pikirku.

Statement of Purpose

Maret 20, 2015



Bertulang Besi Berkulit Kayu:
Eksistensi Becak di Pasar Cakung Jakarta Timur


Trisna Ari Ayumika


Garis Besar Tulisan

Tulisan ini menguak eksistensi becak pasca diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum, yang melarang beroperasinya becak di Ibu Kota, sehingga mengantarkan becak ke daerah pinggiran seperti Pasar Cakung Jakarta Timur, dan menjadikan becak sebagai transportasi yang termarjinalkan. Tujuan tulisan ini dituangkan dalam beberapa hal. Pertama, menjelaskan bahwa becak merupakan salah satu transportasi publik di Jakarta. Kedua, menceritakan eksistensi becak di Jakarta, khususnya di Pasar Cakung Jakarta Timur. Ketiga, menguak hal yang melatarbelakangi pelarangan pengoperasian becak di Jakarta.

Untuk menggali dan memperdalam tujuan penulisan tersebut, tulisan ini akan dilengkapi dengan beberapa data pendukung, di antaranya: (1) Konteks historis keberadaan becak baik secara umum di Indonesia maupun secara khusus di Jakarta. (2) Data-data yang merupakan sumber primer didapatkan melalui wawancara dan kajian pustaka. Metode ini diharapkan dapat menggali kedalaman dan kekayaan informasi, sehingga informasi tersebut dapat mempertajam analisa tulisan ini.

Membangun Pembiasaan

Maret 11, 2015

Saya yakin, tidak ada sesuatu yang dikatakan sebagai budaya tanpa ada pembiasaan sebelumnya. Maka dari itu, tulisan ini tidak menekankan pada ‘budaya’ apa yang harus dimiliki oleh suatu golongan supaya dapat terwujud nilai yang dicita-citakan, saya lebih tertarik melihat bagaimana budaya dapat terbentuk dengan ‘revolusi’. Salah satu cara yang saya soroti adalah pembiasaan. Sebagian besar masyarakat kita sepakat bahwa agama merupakan bagian dari budaya. Namun, (mungkin) tidak banyak orang yang setuju jika saya katakan eksistensi agama tetap hidup karena pembiasaan. Berawal dari kebutuhan untuk mempercayai bahwa ada yang menciptakan manusia dan alam semesta, kebutuhan untuk mengendalikan pihak lain dan kebutuhan untuk membuat kehidupan berjalan dengan stabil, akhirnya dibuatlah aturan-aturan. Dibuat, diterima, diterapkan secara kontinyu (pembiasaan), dibakukan, kemudian dibungkus dengan nama agama. 

Pun dengan sopan santun yang diklaim sebagai budaya bangsa, masih hidup karena pembiasaan. Seperti mencium tangan orang yang lebih tua, atau mengucapkan salam saat bertemu orang lain. Sama halnya dengan agama, aturan mengenai apa yang dianggap sopan dan tidak sopan lahir karena adanya kebutuhan, kebutuhan untuk dihargai dan menghargai. Jika tidak mengikuti apa yang telah disepakati masyarakat tentu ada sanksi yang didapat, karena itu yang membuat 'agama' dan 'sopan santun' masih kita lihat sampai sekarang.

Dalam pembentukan sebuah budaya (disadari atau tidak) sanksi adalah "bahan pengawet" yang wajib ada. Tanpa adanya sanksi, pembiasaan tidak akan berjalan, karena pada dasarnya tingkat kesadaran seseorang bersifat individual, tidak bisa langsung kolektif. Yang membuat kesadaran mencapai titik kolektif adalah ketika “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama tumbuh. 

Maka dari itu, perlu adanya aturan (untuk mengontrol masyarakat agar tetap berada pada posisinya) dan sanksi (untuk mengembalikan mereka yang berusaha keluar dari jalur). Sistem seperti itu perlahan akan membangun sentimen bersama. Ketika ada seseorang yang keluar jalur, masyarakat sepakat menganggapnya bersalah. Bukan semata tindakan menghakimi, tapi upaya menyelamatkan sebuah sistem yang sudah mereka bangun bersama. 

Saya punya contoh kasus berkaitan dengan bagaimana suatu (yang dianggap) budaya terbentuk karena pembiasaan. Saya pernah membaca sebuah tulisan mengenai korupsi di Hongkong pada masa lalu. Bahkan ada pernyataan bahwa semua orang Hongkong korup, tapi lembaga kepolisian yang paling korup. Kepolisian Hong Kong pernah menjual stiker seharga $3 yang dapat membebaskan pengemudi dari pelanggaran lalu lintas. Stiker tersebut hanya berlaku sebulan dan dapat diperbaharui. Jelas, ini menjadi pemasukan paling besar bagi kepolisian saat itu. 

Korupsi yang lahir dan berkembang di Hongkong karena adanya peluang dan pembiasaan, bahkan dilakukan pula oleh lembaga penegak hukum. Di sini saya melihat masyarakat hanya sebagai korban (yang ikut serta secara aktif) dalam ketidakberesan sistem. Ketika sebuah lembaga penegak hukum dan masyarakat sudah dininabobokan oleh “kenyamanan” tersebut, rasanya bukan hal yang mudah untuk membalikan ‘pembiasaan korupsi’ menjadi ‘pembiasaan anti korupsi’. Tapi, itu bukanlah hal yang tidak mungkin.

1974, Independent Commission Against Corruption (ICAC) lahir, lembaga ini tidak jarang menggunakan cara koersif untuk membabat habis mereka yang dianggap korup. Tidak butuh waktu lama untuk membuat ratusan pejabat (yang terbukti korup) mundur dari jabatannya. Singkat cerita, Hongkong berhasil melakukannya. Di sini saya melihat revolusi bukan isapan jempol belaka. Bagaimana dengan budaya? Budaya akan terbentuk dengan sendirinya jika sudah ada pembiasaan melalui aturan dan sanksi yang ajeg.
 
Design by Pocket