Freeport dan Perempuan Timika

November 27, 2012


Tragedi di Timika bukan hanya sebuah drama perebutan sumber daya alam (SDA) biasa. Masuknya PT Freeport Indonesia membawa malapetaka yang berkepanjangan bagi masyarakat Timika. Pasalnya, terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap SDA dan masyarakatnya. Alhasil, perusakan alam pun tidak dapat dihindari. Hal itu berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan di wilayah tersebut.
Rusaknya alam dan pencemaran manyebabkan penduduk sulit mendapatkan air bersih dan sumber makanan. Situasi ini membuat perempuan harus bekerja labih ekstra untuk dapat memperoleh bahan-bahan makanan. Mangapa harus perempuan? Karena, perempuan lekat dengan citra dapur, sumur, dan kasur. Jadi, mau tidak mau perempuan mengemban tugas tersebut. Apalagi secara tradisi posisi laki-laki di Timika lebih kuat dibandingkan perempuan, karena sistem kekerabatan di sana menggunakan sistem patrilineal. Selain itu, pimpinan-pimpinan suku asli adalah laki-laki. Perempuan tidak diperkenankan ada dalam pusaran wilayah publik. Gereja pun memperkuat posisi tersebut. Ini merupakan potret marginalisasi perempuan dalam nagara, masyarakat, gereja, dan keluarga.

Perempuan menanggung beban paling berat atas ketidaksetaraan yang terjadi. Dalam kasus ini, ada empat hal yang mendasari terjadinya ketidaksetaraan. Pertama, persamaan hak. Perempuan dibatasi haknya atas kepemilikan tanah. Perempuan memperoleh hak atas tanah melalui suami mereka, padahal tanah sangat berpengaruh bagi kehidupan perempuan Timika. Masyarakat Timika percaya bahwa wilayah tempat mereka tinggal adalah seorang Ninggok (perempuan atau ibu). Maka, perusakan alam yang terjadi dianggap sebagai pemerkosaan terhadap perempuan atau ibu. Namun, tetap saja perempuan tidak memiliki hak untuk  menentukan nasib mereka sendiri.
Kedua, sumber daya. Perempuan masih memiliki keterbatasan akses atas beragam sumber daya produktif, termasuk tanah dan keuangan. Dalam tradisi masyarakat asli Timika, laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga, maka laki-laki pula lah yang menerima kucuran dana 1% dari keuntungan Freeport. Bisa dikatakan bahwa perempuan tidak mendapatkan akses terhadap dana 1%, dikarenakan perempuan bukan kepala keluarga. Padahal dengan masuknya PT Freeport mangakibatkan hilangnya tanah dan hutan yang berdampak secara langsung pada kehidupan perempuan.
Ketiga, aspirasi. Perempuan Timika kurang terwakili aspirasinya. Sejak awal, perempuan Timika tidak pernah diajak serta dalam perundingan dan pengambilan keputusan mengenai pelepasan tanah. Apa yang menjadi perhatian perempuan bisa dikatakan sama sekali tidak pernah dipertimbangkan. Perempuan hanya berhak menyampaikan aspirasinya melalui suami atau saudara laki-lakinya.
Keempat, kekerasan. Masuknya PT Freeport membawa pengaruh buruk terhadap perilaku laki-laki. Industri pertambangan membutuhkan laki-laki yang keras dan kuat. Untuk dapat menjadi seperti itu, para pekerja banyak mengonsumsi alkohol. Pengaruh alkohol membuat laki-laki melakukan kekerasan fisik terhadap perempuan. Selain itu, perusahan tambang menuntut para pekerjanya untuk bekerja ekstra. Pekerjaan tersebut tidak memberikan mereka kesempatan untuk refreshing, alhasil hiburan satu-satunya yang paling memungkinkan bagi mereka adalah seks. Sehingga, laki-laki sering “belanja” seks. Mabuk dan main perempuan jelas membuat para perempuan Timika mengalami tindakan kekerasan, baik psikis maupun fisik.
Potret kehidupan perempuan Timika amatlah suram. Ketidakadilan gender sangat mewarnai keseharian mereka. Mereka terpaksa berjuang sendiri menghadapi kekerasan hidup sekaligus melawan pertambangan yang selama ini merenggut citra mereka sebagai perempuan.
 
Design by Pocket