Waktu

September 14, 2010

Waktu itu adalah hari terakhirku menangis. Ketika aku sedang duduk di sebuah kursi yang berada di tengah taman kota seekor kucing hitam menghampiriku. Aku tak tahu darimana kucing itu berasal. Yang kutahu, aku butuh teman untuk berbagi kesedihan, dan kurasa kucing ini tak keberatan jika aku memuntahkan apa yang sudah tak sanggup kupendam lagi.
“Kau tau, Manis….  Aku sangat sedih. Orang yang kusayang membohongiku,” ucapku datar.
“Meong…,” kucing menyahut.
“Apakah itu artinya kau mengerti. Ahgggg…, Manis…., mungkin hanya kau yang mengerti perasaanku ini.”
“Pasti banyak orang yang mengerti asal kau mau berbagi dengan mereka,” ujar si kucing sambil manggaruk-garuk badannya dengan salah satu kakinya.
“Kau bisa bicara dengan bahasa manusia?” tanyaku spontan.
“Tidak. Aku menjadi seperti apa yang kau pikirkan,” jawabnya dengan tenang.
“Aku tak bisa berpikir.”
“Baiklah, seperti apa yang kau rasakan.”
“Hmmm…, aku tak mengerti.”
“Kau yakin sudah tak dapat berpikir?”
“Dengan apa aku berpikir? Aku tak punya kepala, apalagi otak.”
“Mengapa untuk berpikir manusia hanya bergantung pada otak? Padahal manusia bisa berpikir menggunakan hatinya, itulah yang kau sebut perasaan. Sejak masih kecil manusia hanya diajarkan bagaimana berpikir menggunakan otak, bukan hati. Maka, aku tak heran jika kau tak pernah merasa berpikir dengan hatimu.”
“Entahlah. Aku tak pernah mendengar ada manusia yang berpikir dengan hatinya….”
“Tapi sebenarnya mereka melakukannya.”
“Darimana kau tahu? Kau hanya seekor kucing.”
“Baru saja kau menggunakan hatimu untuk berpikir.”
“Aku tak mengerti.”
“Kau tak akan bicara padaku jika kau hanya menggunakan otakmu untuk berpikir.”
“Kenapa membahas ini menjadi penting? Padahal aku hanya ingin mencurahkan apa yang kurasakan padamu.”
“Aku sudah tahu permasalahanmu.”
“Kau hanya kucing. Tahu apa kau tentang urusanku?!”
“Kau manusia, tahu apa kau tentang aku? Selama ini yang kau tahu hanya binatang tak bisa berpikir!”
“Baiklah…. Terserah kau saja.”
“Semua manusia itu pernah berbohong. Kau pun pernah. ”
“Ya, aku pernah berbohong.”
“Coba katakan padaku apa saja kebohongan yang pernah kau lakukan.”
“Kau bilang kau tahu segala tentangku.”
“Aku ingin kau mangatakannya.”
“Aku membohongi orangtuaku demi dia. Aku pun membohongi teman-temanku demi dia. Aku juga pernah membohongi dia demi dia. Bahkan, aku membohongi Tuhan demi dia, meski aku tahu, Tuhan tak bisa dibohongi.”
“Lantas, kenapa kau melakukannya?”
“A….”
“Tak perlu kau jawab. Semua orang yang berbohong pasti punya alasan mengapa mereka berbohong. Kau tahu, semua alasan mereka sama. Untuk sesuatu yang menurut mereka baik.”
“Tapi aku merasa diinjak-injak olehnya ketika aku mengetahui kebohongannya. Berkali-kali  dia membohongiku,” aku mangisak.
“Kau tahu, ketika aku memintamu untuk menyebutkan kebohongan yang pernah kau lakukan sebenarnya agar kau bercermin dan membuka pikiranmu.”
“Aku tak mengerti. Aku tak mengerti. Aku membohongi orang-orang yang kusayang demi dia, tapi dia malah membohongiku. Aku merasa sangat sakit,” tangisku pecah.
“Berpikirlah. Dengan otakmu, juga hatimu, karena kau masih memiliki keduanya.”
Kucing itu pun manghilang.
“Siapa kucing itu?” gumamku sambil menyeka airmata di pipi.
“Aku adalah seperti apa yang kau pikirkan,” suara si kucing dari dalam diriku.
Kedua mataku mengatup dan kepalaku menunduk. Aku kalut. Aku menangis. Aku mengingat kebohonganku dan kebohongannya. Aku merasa hancur. Aku merasa bodoh. Kalau ada perempuan terbodoh di dunia, itu adalah aku. Karena, kepalaku sudah hancur diinjak-injak oleh kebohongan. Kepalaku sudah tak ada, apalagi otak. Lalu, dengan apa aku berpikir?
Ya, sekarang aku tak bisa lagi berpikir. Aku hanya mengandalkan perasaanku. Maka, ketika aku tahu dia berbohong, aku hanya menangis. Tangis. Walaupun itu tak menyelesaikan apa yang terlanjur terjadi, tapi paling tidak aku dapat mangungkapkan emosiku.
Aku menjerit. Semua orang yang ada di sekitarku manengok ke arahku. Mungkin mereka berpikir aku gila.
“Aku tak peduli.”
***
Waktu telah meminta langit untuk menjemput senja. Angin pun turut mengiringnya. Desaunya membuatku terbangun dari lamunan.
“Hm, bernostalgia kesakitan di masa lalu,” pikirku. Kemudian beranjak dari kursi kayu yang tiga tahun lalu menjadi saksi perbincanganku dengan kucing.
Kini, waktu telah membekukan hatiku untuk meratap. Lalu, waktu pun membekukan airmataku untuk mengiba.
“Aku tak peduli.”
Terimakasih, Waktu.

Gara-gara Teknologi

September 07, 2010

Kita semua pasti sadar kalau kemajuan teknologi semakin meningkat, jangankan yang di kota, yang di desa saja “melek” teknologi. Teknologi ini mendatangkan manfaat yang besar terhadap penggunanya, lho…! Namun, tak dapat dipungkiri pula kalau teknologi juga dapat merugikan. Lho, kok bisa?

Banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi. Kemajuan teknologi seringkali disalahgunakan. Selain itu, kerugian juga disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, hingga menyebabkan kecanduan. Nah, kecanduan teknologi merupakan sebuah fenomena yang tengah menjadi sorotan. Pasalnya, dampak yang disebabkan oleh kecanduan ini dapat menyebabkan ketergantungan pada produk-produk teknologi. Bahkan, kecanduan teknologi ini tidak saja menggelayuti orang dewasa. Anak-anak pun tak mau ketinggalan untuk mencicipi kenikmatan produk-produk teknologi.

Ini buktinya…

Ini adik saya...



Lihat gambar di atas! Seorang anak kecil berusia 15 bulan yang "gila" teknologi. Keren ya masih kecil sudah "melek" teknologi. Tapi lihat dooooongg dampak negatifnya. Setiap lagi ngerjain tugas, saya harus berebut laptop dengan adik saya. Kalau saya tak ngalah, dia akan menangis. Karena tidak tega, yasudahlah saya pasrahkan laptop padanya. Dan, kalau laptop sudah jatuh ke tangannya, alamaaaaaakkkkkkk saya tak jadi ngerjain tugas. Itu selalu terjadi.
 
Design by Pocket